Kamis, 12 Desember 2013

NASIB BAHASA INDONESIA KU

Sebagaimana telah sama-sama diketahui bahwasanya pada tanggal 28 October 1928, sejumlah pemuda dinegeri ini, dari berbagai ragam suku dan budaya; telah menyatakan kebulatan tekadnya, berjuang untuk menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan Indonesia dan sekaligus Bahasa Indonesia ini kelak akan menjadi salah satu sendi dasar untuk perekat Bangsa ini.

Para Pejuang Sumpah Pemuda ketika itu sudah menjadi sangat yakin sekali bahwa dengan bersatunya bahasa ini, maka semangat rasa nasionalis kebangsaan dari anak negeri ini akan semakin terdorong untuk menyatukan diri.  Semangat rasa sama senasib, sama sepenanggungan akan semakin terbina sesama anak Bangsa ini.

Kalau pada masa-masa sebelumnya, ketika Bahasa Persatuan Indonesia ini belum ada ditambah lagi dengan tekad satu Nusa dan satu Bangsa belum disepakati; mudah sekali bagi penjajah untuk mengacak-acak, meng-adu dombakan dan menghasut masing-masing kelompok dinegeri ini agar saling baku hantam seperti pernah terjadi ketika dizaman Pangeran Diponegoro dimana penduduk Jawa diadu dengan penduduk Sumatera Barat dengan alasan untuk menghancurkan Tuangku Imam Bonjol yang dinyatakan extrimis oleh Belanda.  Kemudian setelah keduanya menjadi lemah, maka semakin memudahkan bagi Belanda untuk menguasai negeri ini.   

Demikianlah awalnya bahasa persatuan ini; walaupun mungkin tidak disebutkan, dimana bahasa Melayu telah dijadikan sebagai acuan dasar dari Bahasa Indonesia ini.  Namun demikian, sungguhlah sangat disayangkan karena orang-orang yang kebanyakkan Melayunesia dinegeri ini yang seharusnya bangga dengan Bahasa persatuan Indonesia ini, akhir-akhir ini malah ternyata justru berusaha pula untuk mengurangi penggunaan bahasa yang telah diperjuangkan tersebut dan menggantikannya dengan bahasa orang-orang yang telah pernah menjajah nenek moyang bangsa ini dulunya.

Bila diperhatikan, usaha untuk menggantikan bahasa persatuan ini dapat terlihat mulai dari kalangan atas di Ibu Kota, ruang pendidikkan, pertunjukkan umum sampai ke masyarakat desapun sepertinya sudah sama sepakat untuk menggantikannya.

Sebagai salah satu contoh; aneh rasanya bagi mereka kalau harus memakai kata “permohonan”, tetapi kalau kata “proposal” barulah mantap kata mereka.  Demikian pula dengan kata peng-hasut-tan, sudah semakin hilang dari kamus masyarakat karena sudah digantikan dengan kata provoc-ator.

Selanjutnya, lihat saja diwaktu persidangan, orang lebih cendrung mengatakan “walk out” dari pada mengatakan “keluar dari sidang” atau “meninggalkan sidang”; orang merasa akan lebih maju kalau sudah bisa mengatakan “hearing” dari pada mengatakan “dengar pendapat”; orang akan merasa lebih berwibawa mengatakan “vooting”  dari pada mengatakan “pemungutan suara”; orang lebih suka mengatakan “fit and proper test” dari pada “uji kelayakan”, orang lebih suka mengatakan “progress report”, dari pada “laporan kemajuan”, orang lebih suka mengatakan “contribution” dari pada “sumbangan”, orang akan merasa lebih berpendidikan bila mengucapkan “solusi” ketimbang “penyelesaian”.  Orang akan merasa lebih hebat  kalau bisa mengucapkan fact finding”, “bargaining position”, “lack of communication", “miss communication", “win win solution”,  “controversial”, “reshuffle”, “recall”, “domain”, “option”, “interuption”, “corridor”, “bus way”, “capacity/kapasitas”.

Pada penghujung tahun 2012, satu lagi kalimat bahasa Indonesia ditinggalkan bangsanya karena istilah “malam bebas kendaraan” telah pula diganti dengan “car free night” dan banyak lagi tentunya kalau diteruskan.  Padahal semua itu ada bahasa Indonesianya.

Kalau Bangsa Inggeris mempergunakan bahasa asing adalah karena bahasa Inggerisnya memang belum ada seperti kata; matador, jabal tarik menjadi (giblartar), alchabra menjadi aljebra (aljabar), alchamistry – chemistry (Kimia), Ibnu Sina menjadi Avesina. dlsb.  Jadi mereka tidak merobah atau meninggalkan bahasa aslinya.

Begitu pula dengan tata bahasanya.  Kita dengar sekarang orang semakin ingin saja merobahnya entah itu menjadi lebih baik atau malah sebaliknya.  Seperti misalnya dalam ungkapan kalimat berikut ini yang sering juga diucapkan orang sekarang, “nanti kita akan lihat apa yang mereka akan dapat lakukan.  Padahal untuk kalimat ini, seharusnya susunan kalimatnya adalah; nanti kita lihat, apa yang dapat mereka lakukan”.  Dan banyak lagi susunan kalimat lainnya yang semakin amburadul saja.  Padahal berbahasa yang baik adalah cerminan dari pribadi yang baik pula.

Demikian juga dengan media televisi dan cetak yang merasa belumlah sempurna kalau tidak menuliskan “breaking news”, “todays dialog”, “head line news”, “profit taking”, “editorial”, “morning news” , “market review”, “eye witness”, “dangdut never dies”, “I love Indonesia”, talk show” dan banyak lagi.  Sementara itu, dari sisi yang lain, media masa yang berada dipusat negeri ini, justru lebih cendrung pula mendorong penggunakan bahasa ibu kota ketimbang Bahasa Persatuan Indonesia.

Kalaulah TV Surabaya menggunakan bahasa Jawa Timur, itu adalah wajar karena siarannya bersifat daerah.  Kalau Bali menggunakan bahasa Bali dalam siarannya itu juga wajar karena siarannya juga bersifat daerah.  Begitu pula RTV kalau menyampaikan siaran dalam bahasa melayu itupun juga wajar karena siarannya bersifat daerah Riau.  Tetapi kalau TV di Ibu Kota yang membuat siaran; karena sifatnya adalah pusat, mestinya bahasa yang dipakai adalah bahasa nasional, bahasa persatuan Bahasa Indonesia, bukan bahasa Jakarte.

Kalaulah misalnya siarannya memang diperuntukan untuk daerah Jabotabek saja, itu memanglah wajar saja kalau harus memakai bahasa Jakarte. 

Lebih hebatnya lagi, didalam bahasa hukum, Bahasa Indonesia sepertinya masih belum bisa menjadi tuan rumah di negerinya sendiri, karena bahasa nomor satunya masih saja bahasa penjajahan Belanda.  Seolah-olah bangsa ini masih saja merasa kalau tidak pakai bahasa penjajahan Belanda maka ketentuan hukum di Indonesia ini belumlah boleh dikatakan sah.

Sadar atau tidak, akibat dari masih dipakainya bahasa penjajahan Belanda itu didalam KUHP, tentu saja akan menjadikan semakin sulit bagi kebanyakan masyarakat untuk memahami ketentuan undang-undang yang sudah ditetapkan di negeri ini.  Timbullah kesan seolah-olah undang-undang dinegeri ini hanya untuk dapat dimengerti oleh orang-orang tertentu saja.  Lalu apakah memang demikian barangkali maksudnya ?.  Padahal, karena kita memang sudah merdeka, rasanya kita sudah berhak penuh untuk merobah seluruh bahasa hukum Belanda itu menjadi Bahasa Indonesia -- sesuai dengan sumpah pemuda yang bertekad menjadikan Bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional di negeri ini termasuk bahasa hukumnya -- seperti istilah; replik yang berarti tangkisan/ bantahan, duplik yang berarti tuntutan, Strafrecht yang berarti hukum pidana, Strafbaarfeit yang berarti tindak pidana, ziekekelijke storing yang berarti terganggu karena penyakit, persona standi in judicio orang yang tidak berhak mengajukan tuntutan atau dwangson sita jamin dan tentunya masih banyak lagi dimana semua bahasa penjajahan tersebut sudah seharusnya dihilangkan dari negeri yang sudah lama merdeka ini.

Demikian juga dalam hal tata krama berbahasa, bahasa Timur yang tadinya penuh dengan irama tatakrama sopan santun, kini sudah semakin dilupakan pula.  Hal ini terlihat jelas terutama dalam penyiaran sinetron asing.

Kalau dulu, anak bangsa ini telah diajar untuk menghargai orang yang lebih tua/ yang dituakan, diantaranya, dalam hal berbicara.  Orang yang lebih muda dilarang untuk mengatakan kalian kepada abang, kakak, paman, bibi, ayah, ibu, nenek dan kakek.  Perkataan kalian itu dianggap kasar bila diucapkan kepada pihak yang dituakan.  Tetapi entah karena apa, entah karena terkunci dengan bahasa asing yang memang dari sananya telah membenarkan untuk mengatakan kalian kepada yang lebih tua dengan istilah you, maka kini disinetronpun TV ramai-ramai mengajarkan anak-anak untuk mengatakan you alias kalian kepada orang tuanya seperti mengatakan kakek, nenek saya sayang kalian semuanya”.  Kata ini memang berasal dari  “I love you all grand pa and  ma”.  Tetapi apakah untuk bisa maju kita memang harus menyalin saja mentah-mentah semua bahasa asing itu tanpa perlu penyesuaian lagi dengan kebudayaan kita ?.  Sehingga Bahasa Persatuan Bangsa ini kelak akan menjadi semakin kehilangan wibawa aslinya dan ciri khasnya.

Contoh lainnya adalah alih bahasa pada tayangan pertandingan masyarakat Jepang yang disiarkan oleh TPI (Televisi Pendidikan Indonesia ?), pulkul 5 sore, hari Rabu, tanggal 3 Februari 2010.  Ketika itu pembawa acara mempertanyakan kekalahan seorang direktur.  Cuma kalimat pertanyaannya sungguh sangat menggelitik/ menarik untuk disimak.  Pembawa acara ketika itu dengan alih bahasanya bertanya, “pak direktur, kenapa kau bisa sampai kalah ?”.  Kalimat tersebut sungguh sangat suram ditelinga saya.  Sungguh sangat jauh dari tatakrama ketimuran.  Karena sudahlah pakai kata “pak”, pakai kata “kau” pula, kelihatan sekali campur aduknya.

Kita semua sudah tahu bahwa dalam adat ketimuran, kata “pak” dipergunakan bila berbicara dengan orang yang lebih tua atau orang yang dituakan.  Sedangkan kata “kau” dipergunakan bila berbicara dengan orang yang sama besar atau orang yang lebih muda. 

Seharusnya susunan kalimat itu berbunyi, “pak direktur, kenapa bapak bisa sampai kalah ?”. (kalau itu dimaksudkan berbicara dengan cara menghargai); atau “direktur kenapa kau bisa sampai kalah ?” (kalau itu dimaksudkan berbicara dengan orang yang sederajat)

Sadar atau tidak, kalimat “pak direktur, kenapa kau bisa sampai kalah ?”, adalah kalimat yang sangat jauh dari sopan santun ketimuran.  Kalimat-kalimat seperti itukah yang harus diwariskan atau diajarkan kepada generasi penerus bangsa ini ?.   Siapa yang harus peduli ?.

Pada satu ketika, salah satu stasiun Televisi pernah menyiarkan satu tayangan sinetron, dimana pada sinetron tersebut digambarkan seorang gadis belia bertemu dengan ibunya yang sudah lama ditunggunya.  Ketika itu dengan alih bahasanya, sang gadis menyampaikan kekesalannya terhadap sang ibu dengan kalimat “sudah lama aku menunggu kau Ibu”, kata sigadis mengomel.

Sudahlah pakai kata Ibu, kemudian memakai kata kau pula.  Kalau menurut tata tertib, tata krama, adat istiadat Timur; sungguh sangat kasar kalau mengatakan kau kepada Ibu, dan banyak lagi kata-kata kasar lainnya yang ditunjukkan/ diajarkan di media Televisi bila disimak dengan telinga Timur.  Bila yang mendengagrnya adalah orang dewasa, dia pasti bisa membedakannya.  Tetapi kalau anak-anak yang baru belajar bicara; tentu akan terima saja.

Demikianlah, dengan mempergunakan kata-kata yang semakin jauh dari tatakrama itu; sadar atau tidak, media masa telah ikut pula mendidik generasi penerus bangsa ini menjadi pribadi yang semakin jauh dari rasa sopan santun tatakrama adat ketimuran.  

Kita boleh saja berdalih mengatakan bahwa semua itu adalah bahasa gaul dan lain sebagainya.  Yaaa boleh-boleh saja, tetapi yang jadi masalah itu adalah penempatannya.  Mestinya bahasa gaul seperti itu hanya pantas dipergunakan untuk perorangan atau dalam acara khusus.  Baik langsung atau tidak langsung, seperti melalui SMS (pesan singkat) misalnya.  Sedangkan kalau berbicara dan menulis dengan bahasa gaul seperti itu melalui acara resmi di dalam rapat umum, di dalam acara pesta umum, melalui media masa cetak maupun televisi, misalnya; itu yang sangat tidak pantas.  Karena dengan cara seperti itu berarti kita dengan resminya telah menggantikan Bahasa Indonesia ini dengan bahasa gaul atau bahasa asing.  Sunguh tersia-sia rasanya bangsa ini mewajibkan belajar Bahasa Indonesia mulai dari TK sampai ke perguruan tinggi  kalau toh akhirnya orang tetap saja enggan, tiada dorongan untuk mempergunakannya atau bahkan sampai ada yang merasa malu untuk mengucapkannya didalam kegiatan umum.

Nah, sekarang tentulah terpulang kepada kita.  Bila kita memang belum rela untuk melupakan perjuangan Sumpah Pemuda kita, maka perilaku sebahagian orang yang ingin untuk mengacak-acak Bahasa Indonesia ini mestinya sudah lebih awal untuk diarahkan/ diingatkan/ ditegor.  Cuma saja tentu akan timbul pertanyaan, siapa sajakah yang berwenang untuk mengarahkannya ?.  Jawabanya, kalau dari sisi budayanya, tentunya Departemen Pendidikan dan Kebudayaanlah yang seharusnya memberikan tegoran kepada pihak Televisi dan Media Cetak.  Dari sisi moralnya, tentunya MUI lah yang harusnya memberikan tegoran.  Agar supaya ciri khas sopan santun dan tatakrama bangsa ini dapat tetap terjaga sepanjang masa.  Agar kelak tidak di patenkan pula oleh pihak-pihak lain.

Tetapi mungkin karena miskin kepedulian, 2 kementrian yang seharusnya bertanggung jawab dalam hal itu, yaaaa membiarkan saja kehancuran tatakrama itu.

Tidakkah kita menyadari bahwasanya usaha mengganti Bahasa Indonesia dengan bahasa asing itu adalah  merupakan salah satu bentuk bentuk dari pengkhianatan terhadap perjuangan Sumpah Pemuda ?.  Oleh karena itu, melalui tulisan ini Penulis menghimbau bangsa ini untuk sejenak merenung, kenapa kita harus ikutan pula berusaha mengganti Bahasa Indonesia ini kepada bahasa asing atau bahasa amburadul lainnya.  Kenapa kita harus terus mengacak-acak bahasa persatuan bangsa ini, bahasa yang telah diperjuangkan oleh pejuang-pejuang bangsa ini.  Siapa lagi yang akan menghargai jasa pejuang Bahasa Indonesia ini kalau bukan kita sendiri.  Sungguh sangat tidak masuk akal kalau untuk alasan bisa lebih maju, lantas kita harus menukar bahasa persatuan kita kebahasa asing.  Padahal walaupun kita sudah berusaha untuk menghargai bahasa Ibu Pertiwi kita ini, belum tentu bangsa lain akan juga ikut menghargainya; apa lagi kalau kita sendiri memang sudah tidak lagi menghargainya.

Bila diamati, kalau di tahun 70-an dulu, penggantian Bahasa Indonesia kepada bahasa asing baru sekitar 5 % saja.  Tapi kini setelah pergantian masa selama 30 tahun, ditahun 2012 ini penggantian Bahasa Indonesia kepada bahasa asing sudah meningkat menjadi lebih dari 10 %.  Haruskah perilaku yang mengecilkan Bahasa Indonesia ini terus berlanjut ?.

Orang Jepang, orang Cina yang tidak mencoba menukar bahasanya kepada bahasa asing, nyatanya malah jauh bisa lebih maju dari kita.  Lain halnya kalau kita memang berbicara langsung dengan orang asing atau kalau kata-kata tersebut memang tidak ada bahasa Indonesia-nya, dan para ahli Bahasa Indonesia kita belum pula ada kemampuan untuk membuat kata-kata baru untuk mengganti bahasa asing tersebut, apa boleh buat, seperti kata televisi misalnya yang walaupuan bisa diterjemahkan langsung kedalam bahasa Indonesia, tetapi artinya akan menjadi sangat janggal kedengarannya karena televisi itu akan bermakna “penglihatan jarak jauh”.  Nah, kalau untuk hal-hal seperti ini, yaaa kita mungkin harus angkat tanganlahAtau mungkin juga berbicara, menulis dalam bahasa Inggeris bila itu adalah dalam rangka belajar, tentulah tidak ada masalah. 


Akhirnya sebagai salah seorang yang tidak ingin ikut mengkhianati Sumpah Pemuda, Penulis mohon maaf kepada semua Pihak bila Bahasa persatuan ini memang sudah mutlak harus mulai diganti dengan bahasa asing.  Yaaa, kalau begitu selamat tinggallah dikau Sumpah Pemuda karena bahasamu, bahasa perjuanganmu sudah tidak lagi dihargai generasi penerusmu.  Anak cucumu sudah semakin enggan dan malu meneruskan tekad dan perjuanganmu.  Namun, dikau tak usahlah risau sanak kerana dikau akan tetap hanya diperingati setiap tahun sebagai “Hari Sumpah Pemuda”,  Oooh Sumpah Pemuda ku sayang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar