Pada
suatu ketika dulu, pada pertengahan tahun 2001, Penulis
pernah melakukan perjalanan ke negara jiran, Malaysia. Untuk sampai di Malaysia, Penulis berangkat
dari pelabuhan Dumai naik ferry menuju Malaka.
Awalnya sebelum berangkat, Penulis belumlah punya sedikitpun
bayangan gambaran tentang keadaan lingkungan
dari negara tersebut. Penulis hanya
punya bayangan bahwa bahasa dan cindera mata dinegeri mereka yang berbeda dari bahasa
dan cindera mata di negeri kita. Namun,
betapa kagumnya Penulis karena baru sampai dipelabuhan Malaka saja, Penulis sudah
dapat merasakan suasana yang sangat bebeda dari suasana pelabuhan Dumai.
Sebelumnya, ketika masih berada di Dumai, Penulis rasanya seperti sedang
berada dalam satu lingkungan timbunan sampah; tetapi ketika baru saja sampai
dipelabuhan di Malaka, rasanya Penulis baru saja keluar dari timbunan sampah
dan masuk kedalam negeri yang bersih dan tertata lebih rapi.
Dipelabuhan itu, sepertinya sudah
rutin, rombongan kami yang terdiri dari sekitar 40 orang disuruh berbaris antri
oleh petugas untuk pemeriksaan passport.
Tetapi antrian kami itu ternyata bisa
bertahannya
cuma beberapa menit saja, setelah itu tanpa
memperdulikan kehadiran petugas imigrasi, semua orang dari rombongan kami yang
tidak sabar menunggu giliran langsung saja main serobot. Yaaa
biasalah mereka lakukan seperti di negeri kita.
Melihat keadaan ini, petugas imigrasi Malaysia tersebut dengan kesalnya
segera berteriak “oii nceeek oiii antriiii nceeeeek” , demikian petugas itu mengingatkan.
Mendengar teriakkan petugas ini, semua orang dalam rombongan kami,
dengan muka masamnya kembali berbaris dengan pengaturan sang petugas. Namun baru beberapa saat saja, barisan antri
kami sudah amburadul lagi. Melihat
keadaan ini, sang petugas yang semakin kesal kembali berteriak “ nceeek oiii
antriiii
antriii nceeeek, sedangkan heiwan
boleh nak antri nceeeek” demikian sang petugas imigrasi kembali memaksa antrian
kami. Ketika itu dalam hati Penulis berkata,
ya beginilah sungguh sangat menyakitkan dan memalukan mentalnya bangsa kita ini, sampai-sampai dikatakan
sama dengan hewan oleh petugas imigrasi Malaysia. Padahal orang-orang yang berada di rombongan
kami itu kelihatannya adalah orang-orang baik semua, tidak kelihatan muka-muka
premannya, tetapi didalam hati mereka ternyata belum ada istilah antri.
Begitulah setelah melewati suasana amburadulnya
rombongan kami ketika pemeriksaan passport, rombongan kami diarahkan oleh Pemandu wisata
untuk menaiki bus pariwisata yang telah disiapkan
menunggu kami. Tetapi kembali seperti
tadi, semua orang dari rombongan kami kembali berebutan memaksa untuk naik bus
layaknya orang-orang yang sedang
berebutan naik bus kota saja. Melihat keadaan ini, pemandu kami hanya
senyum-senyum pahit saja. Barangkali
dia memang sudah terbiasa melihat manusia-manusia serobotan seperti kami yang datang dari Indonesia
Ketika
bus sudah mulai berjalan, dari atas
bus Penulis mencoba melayangkan pandangan keluar. Suasana sekitarnya terlihat sangat berbeda dari suasana di Dumai, bahkan di Ibu Kota sekalipun, negeri yang penuh sampah bertaburan. Di sepanjang perjalanan menuju penginapan, bahkan ketika melewati pasar, Penulis tetap saja melihat suasana yang bersih rapi dan
teratur. Padahal tidak tampak adanya
polisi, tukang parkir yang mengatur. Petugas kebersihan juga tidak banyak kelihatan. Disebelah kiri dan kanan jalan tampak dibuatkan pula parit yang
sangat pantas untuk menghindari terjadinya longsor dan banjir. Sebagai seorang pelaku
tekhnis, melihat bagaimana parit itu dibuat, Penulis langsung dapat memahami
bahwa sistem pembuatan parit dinegara itu memang dirancang dan dikerjakan oleh
orang-orang tekhnis. Bukan seperti
dinegara kita Indonesia dimana parit dan jembatan telah dirancang dan
dikerjakan oleh orang-orang politik, maka wajar saja negeri ini menjadi
langganan banjir.
Malam itu kami menginap di satu hotel dan malam itu kami berjalan-jalan keliling
cuci mata sekedar melihat-lihat. Ketika
itu kami kembali tidak melihat adanya Polisi, Tukang parkir, Pengamen, Pengemis
bahkan orang gila yang menganggu ketenangan pengunjung di warung-warung dan
cafe juga tidak kelihatan. Benar-benar
sangat terasa bedanya dengan negeri kita yang semrawut. Benar-benar terasa kenyamanan
lingkungannya. Benar-benar terasa kalau
disana memang ada pemerintahan yang mengatur atau mungkin juga karena
masyarakatnya sendirilah yang memang sudah bisa mengatur diri mereka sendiri,
peduli pula dengan kebersihan dan kertiban.
Sehingga negeri mereka tidak perlu lagi terlalu banyak menghamburkan
uang untuk membayar orang-orang atau petugas untuk melakukan perkerjaan
pengaturan dan kebersihan itu. Sehingga
dana yang terkuras untuk itu, dapat dipergunakan untuk hal lain yang lebih
bermanfaat.
Esok harinya, setelah sarapan rombongan kami mulai kembali
melakukan perjalanan. Disepanjang
perjalanan, lagi-lagi Penulis melihat suasana yang rapi dan teratur. Sehingga sampai ketempat tujuan wisatapun pun Penulis tidak melihat adanya puntung rokok, kertas-kertas yang
berserakkan, botol-botol minuman yang bertaburan apalagi onggokan sampah memang
sulit dicari disana. Dan hebatnya lagi, disana Penulis tidak melihat adanya tulisan “JAGALAH KEBERSIHAN” , “BERSIH
ITU SEHAT” , “BUANGLAH SAMPAH PADA TEMPATNYA” dlsb.
Mungkin karena Penulis memang
terlahir sebbagai salah satu dari sejumlah orang
yang senang dengan keteraturan, kerapian dan kebersihan; maka suasana bersih,
rapi dan teratur yang terlihat di negeri jiran tersebut betul-betul saaangat
menarik perhatian Penulis.
Beberapa hari kemudian, rombongan kami sampai di negeri
Singapura. Ternyata di negeri Singapura,
masalah kebersihan dan keteraturan malah
lebih baik lagi dari di Malaysia.
Sungguh sangat nyaman rasanya. Kalau melihat
kebersihan itu, ingin rasanya hati berlama-lama disana. Didalam hati Penulis kembali berkata,
sepertinya orang-orang di Malaysia dan di Singapura itu jarang sekali
menghasilkan sampah. Entah cara apa yang
mereka lakukan, ingin rasanya hati bertanya
kepada penduduk negeri itu. Padahal
mereka itu serumpun bangsa dengan bangsa Indonesia yang dikatakan
Melayunesia. Kenapa dalam hal kebersihan
kok jauh sekali bedanya. Ketika itu Penulis kembali teringat dengan sebuah
tayangan yang ditayangkan oleh TVRI sekitar tahun 1982 tentang pabrik sampah
disebuah kota di Negeri Jepang.
Pada tayangan itu dijelaskan bagaimana dari awalnya sampah dari
berbagai pabrik dimasukkan kedalam sebuah peti kemas panjang diatas sebuah trailer.
Dan juga ditayangkan pula bagaimana para pekerja sampah mengangkat
sampah dari tong sampah dijalanan dengan mesin hydrolic dan ada pula yang menyedod sampah dengan mesin penyedod
seperti di Mekah, Saudi Arabia. Setelah itu, semua pengangkut sampah ini bergerak
menuju satu pabrik yang khusus didirikan pada satu tempat yang tidak jauh dari pusat
kota.
Sesampainya di pabrik sampah, semua kedaraan pengangkut sampah
segera membongkar muatan yang dikerjakan dengan mesin pembongkar. Sampah yang dibongkar ini pertama sekali
diterima oleh satu mesin mirip keranjang besi besar berputar yang besar diameternya
sekitar 4 meter dan panjangnya sekitar 10 meter. Kedalam
keranjang besi besar yang berputar ini ditiupkan pula udara panas untuk
mengurangi kelembaban. Dari saringan keranjang
besi besar yang terus berputar ini keluarlah batu, kerikil dan pasir serta
benda-benda lainya yang bisa melewati lobang keranjang sebesar sekitar 15 cm dan
ditampung oleh satu conveyor menuju
satu tempat untuk dicurahkan. Diujung
tempat pencurahan ini, dibahagian sebelah
atas sekali telah menunggu magnet listrik yang berputar siap
setiap saat untuk menangkap semua logam yang bisa ditarik dengan magnet. Sedikit dibawahnya disiapkan pula tiupan
angin untuk memisahkan/ menerbangkan
benda-benda yang lebih ringan dari pasir dan kerikil kelain tempat sehingga
yang tersisa jatuh hanyalah semua bahan yang lebih berat itupun ditampung lagi
dengan satu ban berjalan ketempat pemisah batu, kerikil dan pasir. Disamping sepanjang
ban berjalan ini telah siap pula beberapa orang pekerja untuk mengutip bahan
yang tidak bisa ditarik oleh magnet listrik seperti; almunium, tembaga,
kuningan dan benda lainnya. Tinggallah pasir,
kerikil dan batu yang tercurah di ujung ban berjalan itu dan diujung ban berjalan
itu telah pula menunggu semprotan air untuk mencucinya. Seterusnya dibawa
ketempat pengeringan dan penyaringan untuk dipisahkan antara pasir, kerikil dan
batu.
Sementara
itu, semua benda logam yang bisa ditarik
oleh magnet listrik, dibawa kesatu tungku pembakaran pada suhu tertentu yang
akan menghasil ratusan kilo timah dan berton-ton
besi setiap harinya. Kemudian
semua benda ringan seperti kertas kayu kecil yang telah terpisah dikumpulkan dan dibawa pula ketungku, dibakar dimana apinya
dimanfaatkan untuk menghidupkan pembangkit tenaga listrik mirip PLTU. Tenaga listrik yang dihasilkan dengan bahan
bakar sampah itu sepenuhnya dipergunakan untuk keperluan pabrik itu sendiri.
Kembali kepengolahan awal.
Setelah semua benda-benda yang berukuran kurang dari 15 cm lolos
dari keranjang saringan, tinggallah sisanya seperti besi panjang, kayu-kayu
besar dan semua benda-benda besar lainnya yang
tidak lolos di keranjang saringan itu.
Sejenak perputaran keranjang dihentikan. Semua benda-benda besar dan panjang yang
tidak lolos tadi di keluarkan oleh pekerja dan dibawa
ketempat terpisah untuk dipisah-pisahkan atau pengolahan lanjuttannya. Terutama benda-benda yang patut atau bisa
dibakar, akan
dibawa pula menuju tungku pembakaran yang tujuan utamanya adalah selain melebur kaleng-keleng dan besi, juga untuk membangkitkan tenaga listrik tadi. Cara yang dipergunakan dalam pembakaran
inipun adalah sistem ramah lingkungan.
Karena asap pembakaran dipompakan melalui satu bak air
sehingga pencemaran udara bisa ditekan serendah mungkin dan tidak banyak
menggangu walaupun pabrik sampah ini terletak tidak jauh dari pusat kota.
Dengan cara pengolahan sampah seperti yang dijelaskan ini, ada
beberapa keuntungan yang bisa didapatkan
sekaligus:.
1.
Sampah
praktis menjadi sangat diperlukan untuk kelangsungan hidupnya pabrik sampah
tersebut
2.
Karena
sampah menjadi bahan baku pabrik, maka sampah yang berserakkan dimana-mana menjadi
sangat berkurang.
3.
Sejumlah
tenaga ahli seperti; ahli kimia, ahli limbah, ahli listrik, ahli mekanik, ahli
mesin, ahli komputer, ahli administrasi dlsb akan diserap oleh pabrik ini. Disamping puluhan pekerja kasar yang juga
dapat diserap.
4.
Ratusan
kubik pasir, kerikil, batu, ber-ton-ton besi, tembaga, timah, almunium, plastik
dan juga kompos dihasilkan setiap harinya.
5.
Semua
hasil akhir ini dapat dijual untuk menghasilkan uang yang dapat membiayai
kebutuhan pabrik sampah itu
sekaligus menggaji para pegawainya.
Tidak perlu lagi dana dari APBDN.
6.
Yang
diperlukan hanyalah modal awal untuk mendirikan pabrik sampah tersebut. Sedangkan biaya
pengolahan setiap harinya sudah bisa langsung ditutupi bahkan lebih dari hasil
sampingan yang dapat dijual.
Kesimpullannya; Pabrik sampah ini dapat berjalan dengan sendirinya
tanpa harus banyak menghabiskan dana disamping dapat menunjang kebersihan dan
menyerap sejumlah tenaga kerja. Dalam
hati ketika itu Penulis berharap kelak pemerintah kita Indonesia mudah-mudahan tergerak
pula hatinya untuk mendirikan pabrik sampah seperti yang ada di Jepang
tersebut. Penulis juga membayangkan
andai kata untuk satu pabrik sampah saja diperlukan 60 orang pekerja dan kalau
rata-rata setiap kota punya satu atau mungkin lebih pabrik sampah seperti di
Jakarta misalnya mungkin perlu 5 pabrik sampah ini. Kemudian dikali dengan jumlah kota-kota di
Indonesia ini, katakanlah sampai 200 kota, maka 200 kali 60 orang, maka 12.000
orang tenaga kerja akan diserap oleh pabrik sampah ini. Kapan ya bisa terlaksana???. Demikianlah khyalan Penulis ketika itu ternyata
harus berhenti karena dikejutkan oleh pemandu rombongan kami yang mengatakan
kepada kami untuk turun dari bus karena kami sudah sampai ditujuan.
Setelah turun sambil berjalan mengikuti arah rombongan, Penulis terbayang lagi dengan kesan selama diperjalan sebelumnya,
beberapa kali berhenti ketika masuk ke toilet, tampak kebersihannya kayak di
Hotel bintang 3 saja. Saat itu Penulis berkhayal lagi ingin
rasanya pindah saja ke negeri yang bersih itu, meninggalkan negeri yang dihuni oleh orang-orang kumuh dimana Penulis telah dibesarkan.
Memang ada pula orang yang berpendapat
bahwa di Malaysia dan di Singapura negerinya bisa bersih dan gampang diatur itu
adalah karena daerahnya tidak terlalu luas.
Tidak seperti Indonesia yang punya daerah jauh lebih luas sehingga
menjadi tidak gampang mengaturnya. Apa iiiyaaa, lalu apakah kita harus mengecilkan dulu negara kita ini agar bisa diatur,
baru bisa bersih ?.
Menariknya lagi, selama satu minggu Penulis berada di negeri
Malaysia dan Singapura, berjalan kesana kemari dengan bus, selama itu pula Penulis tidak pernah melihat
adanya kecelakaan lalu lintas. Tidak
seperti di negeri kita yang kecelakaan lalu lintasnya hampir saja tiap hari,
atau tiada hari tanpa kecelakaan lalu lintas.
Demikianlah, setelah beberapa hari diperjalanan, Penulis kembali ke Indonesia
melalui pelabuhan Dumai. Yaaaahch,
kembali lagi kenegeri kumuh. Apa hendak
dikata. Demikianlah, berdasarkan
pengalaman selama dinegeri jiran, Penulis mencoba menulis, menyampaikan saran bagaimana, dan usaha apa yang
bisa dilakukan supaya negeri ini bisa sedikit lebih bersih. Tak usahlah bersih seperti di Malaysia
apalagi Singapura -- rasanya sangatlah mustahil kalau bangsa yang kumuh ini
mampu meniru tingkat kebersihan Singapura --.
Bersih seperti dipelabuhan Malaysia saja pun jadilah dulu.
Mohon maaf yee nceek, tuan-tuan dan puan-puan semua-mua. Mungkin saye ni beda skitlah.