Lahirnya para pemimpin yang berkualitas, bijaksana, adil serta
mampu mengurangi angka kemiskinan, memanglah menjadi dambaan setiap anak negeri ini.
Keinginan
untuk mendapatkan pemimpin yang berkualitas makin
jelas terlihat karena hampir setiap hari saja orang berbicara,
mengeluh tentang para pemimpin yang salah langkah, para pemimpin yang kurang
memperhatikan nasib rakyatnya. Tetapi,
sangatlah disayangkan karena sampai kehari ini, ternyata masih belum banyak
orang yang berbicara tentang bagaimana sebenarnya liku dan proses dari kemunculan/
lahirnya seorang pemimpin itu.
Dewasa ini, orang justru malah lebih
banyak tertarik untuk berbicara hanya sebatas tentang berbagai masalah kesulitan
hidup yang masih menggeluti lebih dari 20 % rakyat dinegeri ini dimana
berbagai kesulitan hidup itu, telah pula mengakibatkan munculnya berbagai
masalah sosial ditengah masyarakat banyak. Mulai dari masalah banyaknya gepeng,
pengangguran, prostitusi, penipuan sampai kepada masalah pelanggaran hukum lainnya
yang kualitasnya semakin hari semakin meningkat.
Potret dari kemiskinan itu,
sepintas lalu saja sudah dapat kita lihat dari masih banyaknya gubuk-gubuk reot
hunian penduduk yang bukan hanya dapat kita lihat dikampung-kampung tetapi juga
dapat kita lihat dikota-kota besar.
Begitu pula dengan gepeng yang
semakin hari semakin banyak berkeliaran hampir di setiap kota . Tambahan
lagi, busung lapar atau gizi buruk masih saja menghiasi kehidupan sebahagian masyarakat
yang terpinggirkan di negeri ini. Padahal
kalaulah mendengarkan nyanyian Koes Plus, tanah kita ini adalah tanah sorga, dengan
untaian khatulistiwa zamrud dan mutiaranya, semua bisa jadi tanaman. Sampai-sampai batupun, katanya, bisa jadi
tanaman, begitulah kayanya bumi kita ini.
Rasanya, nyanyian Koes Plus itu
tidaklah terlalu berlebihan, karena sumber daya alam negeri kita ini, kata
dunia, memanglah melimpah ruah. Namun
demikian, ironisnya, penduduknya masih saja cukup banyak yang harus terpaksa hidup dibawah
garis kemiskinan.
Dalam hal kemiskinan ini,
sampai-sampai ada yang mengatakan bahwasanya kehidupan sebahagian penduduk
negeri ini masih saja mirip seperti ayam yang bertelur diatas padi tetapi harus
mati kelaparan. Kenapa itu bisa
terjasi ???. Itulah permasalah pokok yang masih belum banyak
dipahami orang.
Sehubungan dengan masih
banyaknya penduduk miskin ini, berbagai pihak sejak lama sudah mencoba mencari
penyebabnya sekaligus mencari jalan keluarnya.
Berbagai pendapat, analisa dan cara untuk mengurangi kemiskinan ini telah
pula dikemukakan
orang. Meskipun demikian berbagai usaha itu belum
banyak mendatangkan hasil.
Diantara sekian banyak pendapat
yang paling mengemuka diantaranya adalah pendapat yang mengatakan bahwasanya penyebab
dari masalah masih banyaknya penduduk miskin dinegeri ini tak lain adalah disebabkan
karena negeri ini sampai saat ini masih saja belum dapat menemukan
pemimpin yang berkualitas bahkan banyak pula yang mengatakan bahwasanya mereka
telah salah dalam memilih pemimpin.
Dari satu sisi, pendapat itu
mungkin ada benarnya, tetapi dari sisi yang lain, pendapat itu tampaknya harus
ditinjau ulang kembali.
Untuk itu mari, coba kita lihat
negara-negara tetangga yang telah lebih dahulu merasakan nikmatnya
kemakmuran. Sebagaimana pepatah lama
mengatakan, “mengambil contoh kepada yang telah sudah, mengambil tuah kepada
yang menang”.
Lihatlah negeri Singapura misalnya,
sebuah negara kecil dengan kepemimpinan seorang Lee Kwan Yu ternyata telah mampu
menguasai perdagangan di Asia Tenggara. Kemudian,
negara Malaysia yang berada dibawah asuhan para pemimpinnya yang tentunya juga lebih berkualitas,
yang dipilih oleh rakyatnya yang tentunya juga rakyat yang lebih berkualiatas;
telah pula berhasil menjadikan masyarakat banyaknya, menjadi lebih sejahtera
sehingga sampai kehari
ini Malaysia tidaklah pernah mengirimkan seorangpun pembantu ke
Indonesia.
Sementara Indonesia yang begitu
kaya dengan sumber daya alamnya ini dan juga sama-sama dari ras Melayunesia, sama
seperti penduduknya negeri Malaysia; tetapi karena SDM-nya yang belum cukup
berkualitas, maka sampai saat ini Indonesia masih harus berbangga hati dengan kemampuannya
yang telah berhasil mengirimkan jutaan pembantu ke Malaysia dan negara lainnya.
Begitu juga dengan Vietnam
negeri yang meskipun agak terlambat mendapatkan kemerdekaannya, tetapi telah pula
berhasil melakukan ekspor berasnya. Sementara kita negeri yang subur
ini masih saja harus meng-impor berbagai kebutuhan pokok, mulai dari beras,
jagung, kedele sampai-sampai singkongpun katanya harus di-impor.
Meskipun bangsa yang besar ini telah melihat begitu
banyak contoh kemajuan yang telah diperoleh oleh negara-negara lain yang tentunya
berkat arahan dari para pemimpin mereka yang memang lebih berkualitas, yang
dapat menjadikan rakyatnya menjadi lebih sejahtera; namun, ironisnya semenjak
kemerdekaan sampai kehari ini, ternyata semua contoh-contoh itu masih belum
dapat menjadi pendorong,
menggugah bangsa
ini untuk berpikir, menyadari dan memperbincangkan tentang asal muasal kelahiran
dari seorang pemimpin itu sebenarnya dari mana.
Oleh
karena itu, mari sama-sama kita coba merenungkan
ungkapan berikut ini.
Kini dizaman tehnologi serba
canggih ini, seharusnya sudah saatnya bagi kita masyarakat Indonesia ini untuk berfikir
kembali, menyadari bahwasanya kemunculan seorang pemimpin itu sebenarnya adalah
ibaratkan buah-buahan yang dihasilkan oleh sebatang pohon.
Bagaimanapun, misalnya, sebatang
pohon mangga logikanya pastilah akan menghasilkan buah mangga. Sebatang pohon mengkudu pastilah akan
menghasilkan buah yang kelat, pahit dan kesat.
Adalah mustahil bila sebatang pohon mengkudu akan menghasilkan buah
mangga yang harum dan manis – dengan tekhnologi persilangan barangkali ?.
Kita tentunya juga menyadari, bahwasanya
meskipun setiap pohon mangga pastilah akan menghasilkan buah mangga; namun, hal itu bukanlah satu jaminan langsung bahwasanya setiap pohon
mangga akan menghasilkan buah mangga yang harum, manis dan enak. Karena kalaulah pohon mangga itu sendiri
dalam keadaan kurang baik, maka buah mangga yang dihasilkannya tentulah juga akan
kurang baik. Bagaimanapun, yang jelas
tidaklah mungkin pohon mangga akan berbuah durian.
Gambaran dari ungkapan diatas, adalah
dimaksudkan untuk menjelaskan bahwasanya tampilan seorang pemimpin itu sebenarnya
adalah cerminan dari pola pikir, mental dan tabiat dari masyarakatnya
sendiri. Karena, dari satu kelompok masyarakat
yang baik, biasanya ada harapan untuk melahirkan seorang pemimpin yang juga
baik. Sebaliknya dari satu kelompok
masyarakat yang kusut dan free man; kemungkinannya juga akan melahirkan seorang
pemimpin yang kusut dan free man.
Sehubungan dengan gambaran
ungkapan diatas, mari sama-sama kita perhatikan, contoh-contoh pola pikir dan
mental masyarakat dari beberapa negara yang telah melahirkan pemimpinnya dengan
kualitas seperti apa.
Bangsa Jepang misalnya, adalah satu bangsa yang sejak lama kita ketahui
dimana masyarakatnya mempunyai rasa malu yang sangat mendalam. Rata-rata masyarakat Jepang akan merasa
sangat malu sekali bila gagal melaksanakan satu amanah. Baik itu amanah dari orang tuanya ataupun amanah
dari kelompoknya, amanah dari perusahaannya
atau amanah dari negaranya.
Kebanyakan masyarakat Jepang
merasa lebih baik mundur bahkan bunuh diri saja (harakiri) bila mereka telah gagal dalam melaksanakan satu tanggung
jawab yang harus dipikulnya. Tidak
seperti kebanyakan masyarakat dinegeri ini yang tetap saja ngotot dengan segala
kegagalannya, malah masih saja mau lagi menambah jabatan baru.
Dengan dorongan mental dan pola
pikir rasa malu seperti itu, bangsa Jepang yang meskipun kalah dan bangkrut setelah
dikeroyok rame-rame oleh Sekutu pada perang dunia ke 2 dan diwajibkan pula
membayar pampasan perang yang tidak sedikit; ternyata dalam waktu hanya beberapa
puluh tahun saja, bangsa Jepang sudah mampu bangkit kembali; bahkan mampu pula
mensejajarkan dirinya dengan negara-negara G7 yang pernah meluluh lantakkan
negeri mereka dulunya.
Keberhasilan tersebut tentulah
berkat strategi usaha yang telah dilakukan oleh para Pemimpin bangsa Jepang
yang tentunya berasal dari masyarakatnya sendiri yang memang juga punya mental
rasa malu yang sangat besar itu.
Seterusnya mari pula kita lihat
mental dan pola pikir dari masyarakat bangsa Cina yang begitu gigih, ulet dan yakin
dengan keberhasilan berbagai usaha dagangnya dan program jangka panjangnya. Dengan pola pikir seperti itu, masyarakat
Cina ternyata telah melahirkan para pemimpin yang semakin lihay dalam strategi
menata ekonomi negerinya guna mensejahterakan masyarakat banyaknya.
Keahlian pemimpin Cina dalam
menata ekonominya sampai-sampai telah menjadikan produksi dalam negeri Indonesia semakin terhenyak yang diakibatkan oleh
semakin membanjirnya berbagai barang-barang buatan Cina ke Indonesia , yang semakin sulit untuk
dibendung.
Lain lagi halnya dengan
masyarakat Barat yang semakin maju, karena masyarakatnya yang dinamis; mengutamakan
kualitas, ketegasan, kerapian, keselamatan, kebersihan, kesehatan, kenyamanan
dan didukung pula oleh tingkat intelijensia mereka yang memang lebih tinggi.
Dari masyarakat yang memang punya intelijensia yang cukup tinggi seperti
itu, selain telah melahirkan para pemimpin
yang berkualitas, masyarakat barat juga telah melahirkan cukup banyak orang-orang
yang telah menemukan (inventor) berbagai
peralatan canggih yang sangat dibutuhkan manusia didalam kesehariannya.
Dengan berbagai temuan
tekhnologi yang sangat diperlukan manusia dalam kesehariannya itu, dimana
temuan-temuan tersebut telah dibeli oleh banyak orang; tentulah wajar saja
kalau mereka (penemu-penemu itu) menjadi orang-orang kaya didunia ini.
Ketika para pemimpin bangsa-bangsa
lain semakin hari semakin maju untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat
banyaknya; pemimpin bangsa ini justru malah makin tersandung, terpuruk dengan sejuta
masalah yang semakin menyulitkan untuk dapat menciptakan negeri yang adil, aman
dan makmur.
Ironisnya lagi, bangsa yang
besar ini, sepertinya semakin hari semakin kehilangan arah untuk dapat
menciptakan kemakmuran itu. Padahal,
semenjak kemerdekaan bangsa ini sudah berkali-kali berganti bukan hanya para pemimpinnya
tetapi juga strategi pola pemerintahannya. Namun, strategi pemerintahan yang
pas itu ternyata masih juga belum ditemukan.
Kalau dulu diawal zaman
kemerdekaan disebut zaman revolusi.
Setelah itu zaman darurat.
Dilanjutkan lagi dengan zaman komunis.
Seterusnya zaman Orde Lama.
Diganti lagi dengan Orde Baru dan kini menjadi zaman refromasi, setelah
itu entah zaman apa lagi namanya.
Meskipun demikian, yang namanya kesejahteraan masyarakat banyak itu
ternyata masih saja merupakan angan-angan.
Sampai disini tentu timbul lagi
pertanyaan, kenapa bangsa yang besar dengan sumber daya alam yang melimpah ruah
ini sebegitu sulitnya untuk dapat menciptakan kemakmuran itu ?. Kalaulah sudah begitu, tentunya ada yang
salah. Tetapi kalau memang ada yang
salah, salahnya itu dimana ?. Nah, untuk
mendapatkan jawabannya, mari sama-sama kita renungkan lagi ungkapan-ungkapan
berikut ini.
Ibaratkan kerusakan sebuah
mesin. Biasanya seorang mekanik hanya akan
segera dapat memperbaiki kerusakannya bila sang menkanik bisa segera tahu yang
rusak itu apa. Tetapi bila sang mekanik
tidak segera dapat menemukan kerusakannya itu apa, maka dapat dipastikan bahwa
kerusakan itu tidak akan segera dapat diperbaiki.
Demikian pula keadaannya dengan
negeri kita ini. Bagaimana mungkin bangsa
ini akan dapat memperbaiki atau meningkatkan kesejahteraannya kalaulah pokok
permasalahannya, yang telah menjadi hambatan mendasarnya belum dapat dipahami oleh
masyarakatnya sendiri?.
Oleh sebab itu, kini sebagai
langkah awal dari usaha perbaikan itu, mari sama-sama kita dalami atau kita pahami
dulu apa saja sebenarnya permasalahan yang telah terjadi dengan masyarakat kita
ini. Terutama kebiasaan masyarakatnya,
metalnya, tabiatnya dan pola pikirnya yang sebenarnya adalah suatu permasalahan
pokok yang sangat menentukan dalam hal maju atau mundurnya bangsa ini sebagaimana
diuraikan dalam ungkapan berikut ini:
1.
Berjuta-juta
orang dinegeri ini, tanpa ada rasa beban, tanpa ada rasa bersalah; dengan
santainya seenaknya saja membuang sampah sembarangan meskipun tempat itu baru
saja dibersihkan.
2.
Berjuta-juta
orang dinegeri ini masih saja belum bisa menghargai atau bertenggang rasa terhadap
jasa usaha, kerja keras dari para pencinta lingkungan dan petugas kebersihan
yang harus berhujan dan berpanas mengumpulkan sampah-sarap yang mereka tebarkan.
3.
Berjuta-juta
orang dinegeri ini masih saja menjadikan sungai-sungai sebagai tong sampah,
memasang pamlet-pamlet disembarang tempat yang justru semakin mengotori
lingkungan.
Mereka tidak peduli bahwasanya yang namanya sampah, walaupun memang harus
dibuang tetapi mestilah dengan cara yang pantas. Karena walaupun sampah, bila dilecehkan,
diremehkan, dicampakkan sesuka-sukanya, maka setiap saat sang sampah bisa saja sakit
hati. Kalau sang sampah sudah sakit
hati, sang sampah tak akan segan-segan untuk melakukan serangan balik.
Kalaulah sang sampah sudah melakukan
serangan balik, maka manusia yang meremehkan sampah itu tidak akan berdaya
untuk mengelak dari serangannya. Dan
bila sampah sudah melakukan serangan balik, tak tanggung tanggung akibatnya manusia
bisa mengalami kerugian yang sangat besar.
Terjadilah banjir yang dapat menimbulkan kerugian yang tidak
sedikit. Tersebarlah bebagai penyakit
yang berbahaya.
4.
Berjuta-juta
orang dinegeri ini telah terbiasa atau membiasakan diri hidup dalam lingkungan
kumuh semraut brantakan. Selama hidupnya
hampir-hampir tidak pernah terlintas dalam pikiran mereka untuk merapikan dan
membersihkan minimal lingkungannya sendiri.
Dari
masyarakat yang masih memiliki pola pikir yang kumuh, berantakan, seperti itu, tentulah
sangat wajar bila dinegeri ini juga telah terlahir para pemimpin yang juga
tidak punya rasa kepedulian dengan keadaan yang kumuh brantakan pada daerah
yang berada dibawah kendali pengaturan atau pimpinannya.
5.
Berjuta-juta
orang dinegeri ini masih saja belum terdorong untuk lebih peduli dengan berbagai kerusakkan dilingkungannya.
6.
Berjuta-juta
orang dinegeri yang didiami oleh kebanyakan orang beriman ini, telah
memperburuk suasana lingkungan dengan melakukan corat coret pada
dinding-dinding, pagar-pagar, batu-batu cagar alam, jembatan atau tiang-tiang bahkan pakaian mereka
sendiripun yang seharusnya dijaganya kebersihannya justru juga dicorat coretnya seperti anak sekolah yang baru saja
lulus ujian.
Tidak sedikit pula malah kulit badannya
yang diberikan Tuhan dengan kulit yang mulus bersih yang seharusnya dijaganya, yang seharusnya dia bangga telah
diberikan kulit yang mulus bersih oleh yang Maha Kuasa, itupun dicorat coretnya juga dan itupun
ternyata masih juga sering belum cukup untuk memuaskan hasrat semrawut mereka. Hal itu semakin jelas terlihat, karena beberapa
tahun kebelakangan ini, untuk semakin memuaskan hasrat kesemrawutan bathinnya,
terpaksalah rambut dikepala sendiri yang dijadikan sasaran.
Kalau dulu kebanyakan orang akan merasa
bangga bila bisa tampil dengan rambut yang disisir rapi dan bersih,
sedangkan kini malah sebaliknya orang akan merasa sangat bangga kalau bisa
tampil dengan rambut yang semrawut kusut, seperti layaknya orang-orang yang
baru saja bangun dari tidurnya.
Selain dari itu, kesemrawutan dinegeri ini
semakin bertambah parah lagi, manakala kita melihat kepada tata cara kerjanya
pihak listrik (PLN), telepon, tv kabel dan air pump. Karena pemasangan kabel listrik (PLN), kabel
telepon, tv kabel dan pipa air pump, dipasang benar-benar dengan cara seni yang
kusut semrawut pula, seperti sarang burung tempua.
7.
Ketika
kami pergi melaksanakan haji di tahun 2001, kami telah melihat bahwa pada batu peringatan
pertemuan Adam dan Hawa di bukit Rahmah yang besarnya sekitar 1.5 X 1.5 meter dan tingginya 3 meter itu, penuh
dengan corat coretan
tulisan dan hebatnya lagi 95 % tulisan itu adalah tulisan latin dalam bahasa
Indonesia. Tidak ada tulisan Arab atau tulisan Cina.
8.
Berjuta-juta
orang telah melakukan pengrusakkan fasilitas umum, merusak telepon umum,
merusak taman, merusak pagar, merusak cagar budaya, melempari kaca-kaca spion
keamanan dijalan ditikungan
kritis, melempari kaca rumah, toko dlsb.
Semua itu dilakukannya hanyalah untuk kepuasan pribadi mereka semata.
Dari
masyarakat yang miskin kepedulian seperti digambarkan diatas, maka terlahirlah;
a. Para pemimpin yang juga punya pola pikir
kusut semrawut. Bahkan Undang-Undang yang disusun/ diciptakan
oleh para pemimpin inipun juga undang-undang yang kusut marut dan masih harus
diperdebatkan
b. Para pemimpin yang hanya bisa membangun tetapi tidak punya program pencegahan dan pemeliharan
untuk berbagai aspek kehidupan sosial masyarakatnya (Pemimpin “auto pilot”
istilah sekarang). Setelah mereka
selesai membangun, maka lepaslah tanggng jawab mereka. Selanjutnya bagi para pemimpin itu, nasib
bangunan itu terserahlah kepada alam.
Mau hidup, mau mati, mau roboh mereka tidak mau tahu lagi.
c. Para
pemimpin yang harus menunggu kecelakaan besar dan parah terlebih dahulu, baru
tampil memperbaikinya bagaikan seorang pahlawan kesiangan.
d. Para
pemimpin yang harus menunggu longsor dulu, baru tampil dengan projek besarnya.
e. Para pemimpin yang tidak punya rasa
kepedulian dengan banyaknya ruas jalan yang hancur-hancuran didaerahnya.
f. Para pemimpin yang harus menunggu rusak berat
dulu -- meskipun sudah terjadi selama puluhan tahun -- baru ada perbaikan asal
jadi. Itupun kadang harus didemo dulu
baru ada reaksinya.
9.
Berjuta-juta
orang telah memaksakan diri memakai tortoar, bahu jalan bahkan sebahagian besar
badan jalan untuk berjualan sehingga kendaraan yang lalu lalang dijalan
tersebut menjadi kehilangan haknya.
Mereka tak berfikir/ peduli bahwasanya jalan itu adalah haknya kendaraan untuk lalu lintas yang
dibayar melalui STNK
dan tortoar itu pun sebenarnya adalah juga haknya pejalan kaki.
10. Berjuta-juta pengemudi malah merasa
bangga bila telah berhasil ugal-ugalan melanggar aturan lalu lintas, menerobos
lampu merah, mencuri/ mendahului/ memotong jalan dengan kecepatan tinggi dijalan umum, tak peduli
ditempat sempit, ditikungan atau tempat kritis lainnya, mereka tetap
saja memaksakan diri mendahului setiap kendaraan yang ada didepannya sambil
mengacung-acungkan tangannya layaknya polisi yang sedang mengusir orang-orang
dijalanan karena ada penguasa yang akan lewat.
Sepertinya mereka merasa, ketika mereka
berada dijalanan itu, hanya dialah orang yang paling berkepentingan. Padahal perilaku sopir seperti itulah diantaranya yang sering mengakibatkan tingginya angka kecelakaan lalu lintas.
Hebatnya lagi, bila terjadi kecelakaan
rem lah yang selalu dijadikan alasan.
Padahal, meskipun mobil balap f1 yang memang sudah dirancang khusus
untuk kecepatan tinggi, masih saja bisa
selip bila sudah dikemudikan dengan kecepatan melebihi batas tekhnisnya.
Apalagi mobil besar yang sebenarnya dirancang
hanya untuk kecepatan 40 tentu saja pasti selip bila dipacu dengan kecepatan
diatas 100 km/ jam, ditambah lagi dengan dorongan bawa muatan lebih dari 20 ton
yang semakin mengecilkan tenaga rem
11. Walaupun demikian,
ironisnya, Polisi Lalu lintas tidak pula berdaya menghentikan perilaku
kebut-kebutan dijalan raya itu
karena undang-undang peraturan yang jelas untuk itu belum juga. Tidak seperti di Malaysia; meskipun mereka
termasuk negara kecil, tetapi Polisinya ternyata ada kemampuan untuk menghentikan
kebut-kebutan itu.
12. Berjuta-juta
pengemudi seenaknya saja menerobos/ memotong dikanan jalan, disamping ratusan
pengemudi lainnya yang sedang dengan segala kesabarannya antri menunggu giliran
dikala jalan sedang mengalami
kemacetan. Mereka menerobos tanpa rasa bersalah.
Mereka menerobos, sepertinya hanya mereka sajalah yang ingin cepat sampai.
Akibat dari ulah para pengemudi yang
ugal-ugalan itu, tidak sedikit orang didaerah perumahan yang terpaksa melakukan
pengrusakan terhadap jalan yang sudah diaspal mulus dengan cara membuat
bandulan atau istilah masyarakatnya adalah polisi tidur.
Pengrusakan jalan didaerah perumahan dengan cara
membuat bandulan itu terpaksa mereka lakukan karena kebanyakan para pengemudi,
terutama pengemudi sepeda motor benar-benar tidak punya perasaan, timbang rasa
dengan cara tancap gas ditambah lagi dengan raungan knalt pot kendaraan mereka
yang meraung sangat memekakan dan menyakitkan telinga bagi mereka yang berada
dipinggir jalan.
Dari para pengemudi yang memetingkan diri
sendiri seperti itu, maka muncullah para pemimpin yang katanya demi kepentingan
rakyat. Padahal dalam kenyataanya merek
justru mendahulukan kemewahannya. Mobil mewahnya, kantor mewahnya, rumah
mewahnya, perjalanan dinas mewahnya.
Kalau masih ada sisa, barulah itu untuk rakyatnya.
13. Berjuta-juta orang, cendrung tidak malu berperilaku pengemis, melakukan
pungutan atau minta sedekah secara paksa dijalan umum, dipasar, bahkan ditempat
rekreasipun yang seharusnya bisa santai.
Begitu banyaknya pengemis dinegeri ini
sehingga menjadi sulit untuk membedakan mana yang pengemis sungguhan dan mana
pula pengemis kambuhan.
Mereka kadang cendrung minta sedekah
ini dengan cara memaksa, kadang dengan memanfaatkan istilah aministrasi,
keamanan, jatah, upah angkat dlsb (mirip
penyamun dimasa dulu), cuma bedanya kalau dulu para penyamun melakukan rampasan
ditempat tersembunyi sedangkan sekarang dilakukan terang–terangan ditempat umum
dimana para penegak hukum hampir setiap hari dapat melihatnya.
Mereka tidak berfikir resiko apa yang
akan terjadi akibat dari pungutan-pungutan yang banyak itu. Mereka tidak peduli bahwa nilai total
pungutan-pungutan itu akan dibebankan oleh pengusaha dan pedagang terhadap
harga barang dagangan dan produksinya, sehingga harga-harga barang akhirnya
akan menjadi semakin mahal untuk dijangkau.
Dari
lingkungan masyarakat banyak yang cendrung berperilaku pengemis itu, maka lahir
pulalah;
a. para
pemimpin yang juga cendrung mengemis berhutang keluar negeri meskipun hutang
yang ada sudah bertumpuk triliunan.
Entah siapa, kapan dan bagaimana hutang-hutang itu akan dapat dibayar
lunas nantinya.
b. Para pemimpin yang lebih cendrung mengemis
berhutang dari pada berusaha keras untuk memberdayakan masyarakatnya sendiri
dengan berbagai program padat karya.
c. Para
pemimpin yang cendrung mengemis dengan membengkakan atau memotong nilai harga
proyek-proyek yang akhirnya menjadikan proyek-proyek itu terpaksa dibangun asal
jadi dengan kualitas dibawah standar bangunan. Karena dana proyek
yang sampai kepada pelaksana sudah sangat minim sekali.
14. Berjuta-juta orang lebih suka melakukan
usaha tidak wajar dengan alasan cari makan, padahal hasilnya dihabiskan untuk mabuk-mabukan
berhura ria di klub malam, hotel-hotel, di meja bilyar, di meja domino atau
tempat hiburan lainnya.
15. Berjuta-juta orang telah membabat hutan
habis-habisan, tanpa peduli bahwa penggundulan hutan itu dapat mengakibatkan
banjir bandang, longsor yang parah, semakin panasnya suhu udara atau semakin
tandusnya tanah pertanian.
16. Berjuta-juta orang telah melakukan
manipulasi ukuran dengan mempergunakan tiga macam ukuran. Ada yang
namanya ukuran net, ada yang namanya ukuran Medan dan ada pula yang namanya ukuran Jawa. Kalau ukuran net itu artinya ukuran
internasional, 4 mm misalnya benar-benar 4 mm persis atau lebih. Tetapi kalau ukuran Medan , yang namanya 4 mm itu ketemunya paling
hanya 3.2, 3.5 mm.
Kalau 10 mm, ketemunya paling yah hanya 8.5 mm. Itulah dia ukuran Medan .
17. Berjuta-juta pedagang telah melakukan
penipuan (manipulasi) dengan menambahkan formalin atau borax kedalam bahan
makanan, menyuntikkan zat pewarna merah dan pemanis buatan kedalam buah semangka agar kelihatannya
masak ranum. Menyuntikkan air
kedalam daging agar timbangannya menjadi lebih berat. Ada juga yang memberi pemutih kedalam makanan krupuk dan merebus ikan dengan bayclin agar kelihatan lebih menarik. Mereka tidak peduli kalau perbuatan
tipuannya itu akan menimbulkan berbagai penyakit berbahaya bagi orang lain.
18. Berjuta-juta orang telah melakukan
penipuan (manipulasi) dengan cara membuat undian-undian palsu, usaha multi
level, menipu mesin-mesin ATM yang telah merugikan banyak orang dengan kerugian
yang tidak sedikit. Melakukan
penjambretan dan pencopetan yang sangat menyengsarakan orang atau korbannya.
19. Tidak sedikit pula
operator celuler yang telah melakukan penipuan dengan cara sedot pulsa.
20. Berjuta-juta orang tanpa merasa
bersalah telah menjadi pendukung/ pembela dari perbuatan melawan hukum/ peraturan dengan cara menjadi
pembeli ditempat-tempat dimana jelas-jelas dilarang berjualan, dengan
cara menjadi penadah dari barang-barang curian, dengan cara menjadi penadah dari
barang-barang seludupan.
Padahal akibat dari adanya
pembelaan terhadap mereka yang melawan hukum itu, justru akan
menyuburkan praktek pelanggaran hukum
itu sendiri
Dari masyarakat yang masih dibelit oleh pola
pikir yang cendrung manipulasi ini, maka lahir pulalah para pemimpin yang juga
punya tabiat suka manipulasi, pemimpin yang cendrung untuk melakukan
perbuatan korupsi dan berbagai penyelewengan.
21.
Berjuta
pendidik dinegeri ini cendrung didorong/ terdorong mendidik anak didiknya
dengan cara menanamkan rasa kekerasan, dengan cara menghilangkan rasa malu pada
kepada anak didiknya dengan alasan plonco, dengan alasan mapram, ospek,
orientasi dan lain sebagainya.
Terlebih lagi, biasanya dalam
pelaksanaan perpeloncoan itu pada setiap tahun ajaran baru, para guru cendrung pula menyerahkan
pelaksanaan perpeloncoan itu kepada murid atau mahasiswa yang baru saja naik ke
tingkat dua.
Akibatnya, karena ingatan murid yang
diserahi tugas perpeloncoan tersebut masih segar dengan penderitaan siksaan yang
telah mereka
rasakan ketika mereka menjadi murid baru setahun yang lalu, maka mereka yang sudah naik kelas
itu akan merasa pelaksanaan
orientasi yang diserahkan kepada mereka itu adalah merupakan satu
kesempatan baik bagi mereka untuk balas dendam kepada murid yang baru, bahkan tak jarang pula perlakuan
mereka malah lebih sadis lagi
dari apa yang pernah mereka alami pada tahun yang lalu. Buktinya, setiap tahun ajaran baru selalu
saja ada korban yang tidak perlu.
Sepertinya, para pendidik dinegeri yang
memiliki beragam adat, budaya dan sopan santun ini atau dinegeri yang katanya
beradat ini, merasa ada hiburan tersendiri melihat para murid baru sampai
termehek-mehek dipelasah oleh kakak kelasnya.
Padahal, kalaulah mapram alias ospek
ini memang dirasa sangat perlu, mutlak, mesti harus dilaksanakan karena
dianggap hanya itulah satu-satunya cara terbaik untuk menjadikan masyarakat bangsa
Indonesia ini agar dapat menjadi lebih cerdas; mestinya ospek itu dilakukan oleh para guru itu
sendiri, bukannya diserahkan kepada murid-murid yang baru naik
kelas. Sehingga tingkat kesadisan dari ajaran perpeloncoan itu akan tetap
sama dari tahun ketahun atau tingkat balas dendamnya tidak akan bertambah.
Memang, diakui, bahwasanya mereka yang
dianggap telah melanggar batasan kewajaran yang tak jelas dalam sistem orientasi itu, bisa saja di adili dan diberikan
sangsi. Tetapi buat apa sangsi itu bagi
mereka yang sudah terlanjur meregang nyawa akibat perpeloncoan itu ?.
Sudah
saatnya kini kita menyadari bahwasanya dengan system perpeloncoan seperti apa
yang sudah pernah diterapkan selama ini, yang telah dibebankan kedalam dunia
pendidikan dinegeri ini; maka lahirlah tidak sedikit siswa-siswa brutal yang
semakin jauh dari rasa sopan santun, yang tidak punya rasa segan, yang tidak punya
tenggang rasa terhadap kesulitan orang lain, yang semakin jauh dari rasa malu.
Bahkan
lebih jauh dari itu, dengan sistem pendidikan yang dibebani perpeloncoan ini
juga telah melahirkan cukup banyak anak bangsa ini yang justru hobinya tawuran.
22. Banyak orang di
negeri ini malah merasa bangga bukannya malu bila telah berhasil mengirimkan
ribuan bangsanya untuk jadi pembantu ke negeri jiran dan negara-negara lainnya.
23. Berjuta-juta orang telah merokok di bus
umum, ruangan umum/ ruangan ber AC.
Mereka tidak peduli dengan penderitaan orang lain yang alergi terhadap
asap rokok.
24.
Berjuta orang cendrung berusaha keras untuk
menuntut kenaikan gaji. Padahal apalah
gunanya kenaikan gaji kalau nilai belinya malah jadi menurun.
Tahun 70an dulu
orang punya gaji cuma rata-rata Rp 75.000,- / bln. Tetapi karena harga beras ketika itu cuma Rp
250,-/ kg, maka dengan gaji sebanyak itu orang sudah dapat membeli beras
sebanyak 300 kg. Sedangkan sekarang,
orang yang rata-rata sudah punya gaji Rp 1.500.000,- / bln, tetapi karena harga
berasnya kini naik pula menjadi Rp 7.500,- / kg, maka orang sekarang dengan
gaji sebesar itu hanya dapat beli beras sebanyak 200 kg.
Artinya jumlah
gajinya memang sudah jauh naiknya, dari 75.000/ bln menjadi 1.500.000/ bln = 20
kali lipat (2000 %) , tapi apalah gunanya gaji bisa naik sampai 20 kali lipat
sementara harga berasnya malah naik menjadi 30 kali lipat, dari Rp 250/ kg
menjadi Rp 7.500,-/ kg = 3000 %.
Jadi sama aja
bohongnya tuh. Mestinya yang dituntut oleh
masyarakat itu adalah turunnya harga barang.
Bukannya melakukan demo menuntut kenaikan gaji.
Padahal, akibat
dari demo-demo menuntut kenaikan gaji itu, cukup banyak pula perusahaan-perusahaan
yang terpaksa harus gulung tikar
– para buruh sepertinya tidak peduli itu.
Sesungguhnya
cara-cara menuntut kenaikan gaji yang sudah dilakukan selama ini dapat
dicontohkan dengan gambaran berikut ini.
Suatu
ketika, pada lantai dasar satu pasar swalayan sedang diadakan pertunjukan musik
yang cukup ramai penontonnya.
Salah seorang dari penonton, karena
merasa pendek sehingga kurang leluasa untuk menyaksikan pertunjukkan tersebut,
maka dia berusaha naik kelantai 2.
Ketika sudah berada di lantai 2,
ternyata dia memang merasa lebih nyaman karena tempatnya menonton sudah lebih
tinggi dari pertunjukan itu sendiri.
Tetapi, ketika dia yang pendek sedang berada dalam lift, merasa tidak
bebas melihat kiri dan kanan karena padatnya orang dalam lift tersebut; maka di
mencoba lagi untuk menekan tombol agar dia bisa naik ke tingkat yang lebih
tinggi dengan tujuan agar dia bisa bebas lagi untuk melihat. Namun, meskipun dia sudah naik beberapa
tingkat ternyata dia tetap saja tidak bisa bebas untuk melihat, kenapa ?. Jawabannya tak lain tentu saja, ya karena orang-orang
disampingnya juga turut naik.
Demikian juga dengan gaji. Kalau yang dituntut itu adalah naik gaji
secara umum; meskipun itu bisa dikabulkan, paling itu akan terasa nikmat hanya untuk
beberapa saat saja. Setelah itu
barang-barang kebutuhan akan menyesuaikan/ melonjak lagi bahkan bisa lebih tinggi nilainya dari
gaji semula. Lalu apa artinya naik gaji
???
Adakah kepedulian bangsa ini dalam hal
ini. Oleh karena itulah, mestinya yang dituntut itu adalah
turunnya harga barang-barang kebutuhan umum.
Untuk menurunkan harga barang-barang sebenarnya ada banyak cara yang
bisa dilakukan diantaranya;
a.
Dengan
cara menciptakan keseimbangan
b.
Dengan
cara bersunguh-sunguh dalam melaksanakan pembangunan. Tidak asal jadi. Seperti
robohnya jembatan di Kalimantan. Akibatnya bila harus dibangun lagi, biaya jembatan
itu menjadi 2 kali lipat, menjadi sangat mahal sekali. Itulah akibatnya bila pembangunan asal jadi.
c.
Dengan
melakukan penghematan, tidak boros seperti yang terjadi saat ini.
d.
Dan
yang lebih penting lagi, para
penyeleweng dana rakyat jangan lagi dipelihara.
Bila cara-cara diatas bisa dilakukan,
yakinlah nilai gaji yang ada sekarang saja sudah akan terasa cukup nikmat. Untuk lebih jelasnya, silahkan dibaca di
tulisan berikutnya dengan judul “Reformasi Undang-Undang Indonesia” yang
diterbitkan pada bulan April.
25.
Dan
tentunya masih ada lagi perilaku lainnya yang dapat menjadi petunjuk dari
kecendrungan kurang pedulinya masyarakat kita terhadap lingkungannya. Baik itu dari lingkungan fisik maupun dari
sudut mentalnya.
Dari sejumlah contoh
pola pikir dan kebiasaan buruk masyarakat banyak dinegeri ini, yang digambarkan
pada tulisan diatas, akan semakin jelaslah terlihat betapa masyarakat bangsa
ini masih memiliki mental dan pola pikir yang sangat miskin kepedulian
terhadap lingkungannya.
Sebenarnya masih
ada lagi beberapa contoh lainnya dalam hal permasalahan miskin mental dan pola
pikir ini yang sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan hidup dinegeri
ini; yaitunya permasalahan politik, khianat dan ...... yaaaa nantilah dulu. Pada episode berikutnya akan kita coba lagi
membahasnya.
Tapi, walau
bagaimanapun, yang jelas dari semua rangkuman gambaran permasalahan mental; yang
miskin kepedulian itulah sebenarnya yang menjadi penyebab utama dari kenapa
bangsa yang besar ini dulunya dapat dengan mudahnya di jajah oleh bangsa-bangsa
mini dari Eropa selama lebih dari 350 tahun.
Dan dengan mental rasa kepedulian yang sangat rendah itulah bangsa ini dulunya
dengan mudahnya dapat pula diadu domba oleh pihak-pihak lain sementara kekayaan
alam negeri ini tetap saja dikuras dan dibawa untuk negeri-negeri lain.
Namun demikian,
sejarah ternyata berkata lain. Pada
tahun 1940, tentara Dainippon Jepang dibawah arahan Kaisarnya telah pula merangsek
ke Asia Tenggara untuk melakukan penjajahan.
Tetapi cara penjajahan yang dilakukan Jepang saat itu sangatlah berbeda
dengan cara penjajahan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa mini dari Eropa
sebelumnya seperti Portugis, Ingris dan Belanda yang pernah menjajah bangsa
yang besar ini.
Kalau bangsa Eropa
melakukan penjajahan adalah dengan cara adu domba yang tidak disadari oleh
bangsa ini yatu dengan cara memperalat para begundal, free man atau para pengemis kambuhan untuk
memerangi bangsanya sendiri; sedangkan Jepang melakukan penjajahan justru dengan
cara membagero para begundal dan free man itu sendiri apalagi kalau ketahuan ianya adalah pengkhianat;
maka itu tidak akan ada ampun lagi, langsung saja diperintahkan untuk berhenti
bernafas oleh Kempetai
Hebatnya lagi, akibat dari
bagero dan banzai yang tak tanggung-tanggung yang telah dilakukan Jepang
terhadap bangsa ini (khususnya
terhadap free man atau pengkhianat) ketika itu; meskipun hanya beberapa tahun
saja, ternyata justru telah menimbulkan rasa kepedulian yang sangat mendalam bagi
sesama penduduk negeri ini. Perilaku
yang tidak berperi kemanusiaan atau melanggar HAM yang dilakukan Jepang
terhadap penduduk negeri ini, justru membangkitkan semangat tenggang rasa yang sangat
mendalam terhadap penderitaan sesama anak bangsa ini sekaligus semangat juang
untuk memerdekakan diri.
Begitulah masa
berlalu. Setelah bangsa Jepang
dikalahkan dengan cara dikeroyok rame-rame oleh bangsa-bangsa penjajah dari
Eropa dibawah naungan bendera PBB, ternyata semangat perlawanan bangsa ini
semakin hebat, sampai-sampai tentara sekutu yang ingin mengembalikan penjajahan
Belanda dinegeri inipun dilawan.
Hal itu dapat
terjadi, tak lain adalah karena dimasa penjajahan Jepang yang sangat singkat
itu, para begundal-begundal anak emasnya Belanda atau para pengkhianat bangsa
pada masa itu banyak yang sudah dibagero Jepang. Sehingga orang-orang yang dapat dijadikan tangan
kananya Belanda atau orang-orang yang mau diperalat Belanda untuk jadi
pengkhianat dan orang-orang yang mau diadu domba ketika itu sudah tidak banyak
lagi.
Disini ada satu
hal yang barangkali belum disadari oleh kebanyakan penduduk negeri ini yaitu;
seandainya kegiatan penjajahan yang sedang marak dilakukan oleh bangsa-bangsa
mini dari Eropa ketika itu tidak terganggu oleh munculnya Dainippon, Nazi dan Komunis;
mungkin saja PBB tidak akan pernah ada.
Tidakkah kita memperhatikan siapa sajakah sebenarnya yang telah dibela mati-matian
oleh PBB ?.
Ironisnya, setelah
negeri ini mendapatkan kemerdekaannya, sifat-sifat aslinya bangsa ini berangsur-angsur
muncul kembali yaitu sifat miskin kepeduliannya. Haruskah bangsa yang besar ini kembali dibagero
lagi agar rasa
kepeduliannya muncul lagi ??.
Kini kita kembali kepada pokok persoalan. Dari masyarakat yang miskin kepedulian ini,
amatlah mustahil akan memunculkan para pemimpin yang juga benar-benar peduli
terhadap kesejahteraan masyarakatnya.
Logikanya, bila seandainya dalam satu kelompok
masyarakat agamis, telah terpilih seorang free man untuk menjadi pimpinan, pastilah akan
terjadi bentrok antara masyarakat dengan pimpinannya. Begitu pula sebaliknya, bila seandainya dalam
satu kelompok masyarakat freeman atau lokalisasi, yang terpilih menjadi ketuanya adalah
seorang ustazd atau orang baik-baik, tentulah juga akan terjadi bentrok; karena
pola pikir masyarakatnya menjadi tidak sejalan dengan pimpinannya.
Dengan kata lain, tampilan seorang pemimpin
sebenarnya adalah gambaran dari dari masyarakatnya
sendiri.
Seandainya
masyarakat dinegeri yang kaya dengan sumber daya alam ini memang benar-benar
menginginkan negeri ini menjadi satu negeri yang adil aman dan makmur, maka
orang-orang yang akan terpilih menjadi pimpinan dinegeri ini pastilah
orang-orang yang juga benar-benar ada kemauannya untuk melaksanakan operasi
pekat (menghentikan perbuatan maksiat) dan rakyat yang memilihnya akan
mendukung pula usaha pimpinannya itu.
Jadi bukan orang-orang
yang pidatonya demi kepentingan rakyat, tetapi perilakunya justru untuk
kemewahan pribadi. Mobil dinas mewah,
rumah dinas mewah, kantor dinas mewah, pesta mewah yaaa semua mewah; lalu kapan
demi rakyatnya ?.
Bahkan mungkin
juga masyarakat dinegeri ini akan memilih orang-orang seperti di Singapura yang
punya keberanian untuk melakukan hukuman cambuk kepada mereka yang punya
kesenangan untuk melakukan corat coret dan pengrusakan fasilitas umum, atau
mungkin juga orang-orang seperti di Malaysia yang melakukan hukuman mati
terhadap mereka yang memiliki lebih dari 5 gram heroin, atau mungkin juga orang-orang
seperti di Jepang yang melakukan bagero kepada mereka yang bermalas-malasan dan
seperti orang-orang di Cina yang melakukan hukuman mati terhadap koruptor.
Sejalan dengan
berbagai permasalahan yang telah diungkapkan diatas; tidakkah kita
memperhatikan bahwasanya amanat undang-undang dasar 1945 Bab I
ayat 1 pasal 2 telah menetapkan bahwasanya kedaulatan itu terletak ditangan rakyat
yang dilaksanakan oleh DPR ?. Maka, sehubungan dengan amanat undang-undang
tersebut, sesungguhnya lahirnya seorang pemimpin yang berkualitas atau tidak,
hal itu sebenarnya sangatlah tergantung kepada mental dan pola pikir dari
masyarakat negeri ini sendiri.
Bila mental bangsa ini, sebagai pemilik dari
kedaulatan itu masih saja seperti yang ada saat ini, yang cendrung miskin
kepedulian, yakinlah sampai kapanpun negeri ini tidak akan pernah mendapatkan
pemimpin yang berkualitas.
Kecuali bila yang
Maha Kuasa berkehendak lain. Tiba-tiba
saja memunculkan seorang pemimpin yang berkualitas ditengah-tengah masyarakat
yang masih berada pada posisi miskin kepedulian ini. Seperti yang pernah terjadi di Jazirah Arab
dulu, dimana ketika masyarakatnya dulu sedang terbiasa dengan perilaku
jahiliyahnya, yang punya tradisi membunuh anak perempuannya, yang punya tradisi
manipulasi, yang sudah terbiasa dengan melakukan pekerjaan penggelapan,
penculikan dan jual beli budak pembantu (all in one); tiba-tiba muncullah
seorang pemimpin yang mampu membumi hanguskan hampir semua kejahatan itu. Pemimpin tersebut adalah seorang yang bernama
Muhammad.
Dalam melakukan
usahanya untuk membalikkan
dunia manipulasi dan kejahatan itu, Nabi Muhammad tak tanggung-tanggung harus
melakukan banyak sekali perang, konon sampai 27 kali perang besar waktu itu.
Sesungguhnya,
keinginan masyarakat banyak dinegeri ini, yang katanya menginginkan munculnya
seorang pemimpin yang berkualitas dizaman sekarang ini tak obahnya bak cerita seorang
ayah pelanggar hukum yang miskin kepedulian, yang saat itu sedang sibuk berbuat
maksiat, bersenang-senang bermabuk-mabukan dimeja judi. Ketika sang ayah didatangi oleh anaknya, si
ayah berpesan kepada sang anak, “Wahai anakku sayang, janganlah engkau sampai
meniru pula perilaku buruk ayah ini.
Rajinlah engkau berbuat kebaikan.
Biarlah ayah saja yang berperilaku buruk seperti ini”, demikian sang
ayah memberi nasehat. Apakah itu mungkin ?.
Padahal perilaku sang ayah secara genetik akan
cendrung menurun diwarisi oleh anaknya. Nah,
sekarang permasalahanya, yang jadi bapak dari bangsa ini; adalah masyarakat
banyak dinegeri ini yang saat ini cendrung miskin kepedulian; yang akhirnya
mewariskan tabiat miskin kepeduliannya itu kepada sang pemimpin. Oleh karena itu, apakah mungkinkah bangsa ini
akan mendapatkan para pemimpin yang berkualitas ???. Itulah masalahnya.
Bila kebanyakan
penduduk negeri ini cendrung berpendapat bahwasanya keterlambatan bangsa ini
dalam hal mendapatkankan kemakmuran yang lebih baik adalah karena kesalahan
pemimpin, karena para pemimpin yang pernah terpilih sampai saat ini masih belum
berkualitas; mestinya penduduk itu sendirilah yang seharusnya merasa malu dengan
kegagalannya dalam memilih para pemimpin itu
Logikanya,
sangatlah wajar bila seorang ibu -- (pertiwi
?) (masyarakat banyak ?) -- merasa sangat bangga bila telah berhasil
melahirkan, membesarkan dan mendidik anaknya sehingga menjadi seorang
terpandang dimata dunia. Seorang ibu -- (pertiwi
?) -- yang baik biasanya akan merasa sangat malu bila dalam kenyataanya telah
melahirkan seorang begundal ditengah masyarakat.
Akhirnya, bila kita bangsa ini memang ingin mendapatkan
atau melahirkan seorang pemimpin yang berkualitas; tidak ada jalan lain, seharusnya
kita sendirilah masyarakat banyak dari bangsa ini, yang mestinya terlebih
dahulu memperbaiki diri.
Untuk masa-masa
yang akan datang; janganlah kita bangga lagi bila kita sudah berhasil melanggar
aturan kebaikan; janganlah kita bangga lagi, kalau kita sudah berhasil untuk
tidak memperdulikan kesulitan orang lain; janganlah kita bangga lagi, bila kita
sudah berhasil mengedara dengan perilaku ugal-ugalan dijalan umum; janganlah
kita bangga lagi bila kita sudah berhasil melakukan penipuan, janganlah kita bangga lagi bila kita telah
berhasil menyeludupkan barang haram, janganlah kita melanjutkan lagi ospek atau
orientasi seperti yang sudah biasa dilakukan saat ini dalam dunia pendidikan, yang
telah menghasilkan manusia-manusia keras yang suka tawuran tanpa rasa malu. Yaaaaa tentunya banyak laaaagi perilaku-perilaku
buruk itu.
Dengan
kata lain, kini, bila masyarakat banyak bangsa ini sudah mampu melakukan
perbaikan dirinya; sudah mampu merobah dirinya untuk menjadi pribadi yang
peduli dengan penderitaan dan kesulitan orang lain; sudah tidak lagi membuang
sampah disembarang tempat; sudah tidak lagi menjadikan parit, got dan sungai
sebagai tong sampah; barulah ada harapan bangsa ini akan mendapatkan para
pemimpin yang juga peduli dengan kesulitan rakyatnya, para pemimpin yang juga
punya rasa malu untuk bermewah-mewah ditengah penderitaan rakyatnya.
Kalaulah hanya menghujat para pemimpin yang telah kita pilih
sendiri (bangsa ini), itu akan sama
saja artinya dengan menghujat diri sendiri atau meludah kelangit.
Selain dari itu, bila kita memang betul-betul menginginkan para
pemimpin yang berkualitas, harusnya kita jangan mau lagi dihipnotis dengan
janji-janji muluk tanpa batasan ukuran pada setiap masa-masa kampanye. Dihipnotis
dengan hanya menerima sejumlah bayaran, padahal 5 tahun kedepan kita bangsa ini
tetap saja harus menderita direndam banjir bila musim hujan tiba, tetap
saja harus menderita terhentak-hentak ketika naik mobil diatas jalan-jalan yang
rusak berlobang-lobang dan berbagai kesulitan-kesulitan lainnya akhirnya harus
kita tanggung sendiri karena telah masuk kedalam perangkap hipnotis strategi pemilu yang
berkepanjangan.
Bila satu saat, ada seseorang
yang menawarkan diri untuk menjadi para pemimpin dinegeri ini; mestinya masyarakat
langsung membuat kontrak kerja dengan pihak yang menawarkan diri; bukannya
kontrak politik alias kontrak akal-akalan.
Didalam kontrak kerja itu (misalnya) masyarakat minta kepada
seorang calon pemimpin agar satu ruas jalan yang sudah rusak berlobang-lobang kelak
segera diperbaiki mulus bila ia sudah jadi pemimpin. Rentang waktu perbaikannya juga harus ditetapkan
harus selesai dalam jangka waktu 1 tahun
(misalnya) dengan alasan karena jalan tersebut adalah urat nadi perekonomian
didaerah itu.
Begitu pula dengan lapangan kerja. Dalam rentang waktu yang telah ditetapkan haruslah
tersedia minimal misalnya bisa menampung 40 % dari jumlah pengangguran yang ada
saat itu dan permintaan-permintaan lainnya.
Kemudian kalau calon pemimpin berjanji menyanggupinya bila ia
terpilih kelak, maka janji-janjinya itu haruslah dibuat tertulis yang
mengatakan bahwasanya bila janji-janji tersebut tidak dapat terlaksana dalam
waktu yang telah ditentukan, sanksinya adalah sang calon haruslah segera mengundurkan
diri. Itulah misalnya perjanjian yang harus dibuat dengan seorang calon
pemimpin. Jadi bukan hanya sekedar janji
tanpa pegangan.
Perjanjian tersebut haruslah dibuat oleh notaris, diketahui oleh
Kepala Polisi, Komandan TNI, Komandan SATPOL PP didaerah bersangkutan dan
ditanda tangani pula oleh sesepuh masyarakatnya.
Membuat surat perjanjian seperti itu adalah dimaksudkan agar
apabila sang pemimpin yang berjanji kelak ternyata gagal melaksanakan janjinya
dalam rentang waktu yang telah ditentukan, maka masyarakat berhak langsung atau
melalui notaris meminta sang pemimpin untuk segera mundur dari jabatannya, agar
dapat segera diganti lagi dengan orang lain yang mungkin lebih mampu.
Jadi tidak perlu harus tunggu hancur-hancuran dulu menunggu habisnya masa jabatan
5 tahun.
Dengan adanya surat
perjanjian seperti itu, pihak keamanan tentunya tidak lagi berhak untuk membela
orang yang nyata-nyatanya tidak sanggup untuk melaksanakan janjinya itu.
Kalau seorang calon pemimpin mengatakan akan meningkatkan ekonomi
masyarakat, akan mempermudah pendidikan, akan meningkatkan stabilitas keamanan,
akan me ……. dst; itu kan baru hanya sekedar ilusi tanpa tanggung jawab. Pelaksanaanya bagaimana ?. tentunya masih menjadi tanda tanya besar.
Jadi itulah sebenarnya yang
seharusnya dilakukan oleh bangsa ini dalam pemilihan pemimpin masa depan.
Yaitunya membuat kontrak kerja yang realitis dengan mereka yang
mencalonkan diri untuk jadi pemimpin. Membuat kontrak kerja yang ada batasan
waktunya. Membuat kontrak kerja yang ada
penaltinya.
Bukan membuat kontrak politik alias kontrak akal-akalan seperti yang
sudah terjadi selama ini. Salah kaprah
ituuuu.
Dengan adanya kontrak kerja itu, nantinya kedepan negeri tidak lagi
akan dikendalikan oleh para administrator sosialis atau poli tikus, tetapi secara berangsur-angsur dan bertahap negeri ini akan
dikendalikan oleh para tekhnisi dengan standar bakunya.
Tidakkah kita memperhatikan pola pembangunan selama ini ? yang
lebih banyak dicampuri oleh sistem sosialis ?.
Tidakkah kita memperhatikan bahwasanya sampai saat ini, jangankan
dataran rendah, dataran tinggi pun bisa jadi langganan banjir yang telah
mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit ? Memang, itulah
resikonya bila satu negeri dipimpin oleh para administrator, sosialis atau politikus.
Tidakkah kita memperhatikan bahwa buruk baiknya keadaan satu
daerah, sebenarnya adalah buah tangan dari para governor-nya, pengendalinya
atau gubernurnya.
Bila panen satu daerah cukup memuaskan, bila keamanannya terasa
lebih nyaman, maka itu tentulah hasil karya dari gubernunya yang memang mampu
untuk mengaturnya.
Sebaliknya, bila daerah tersebut telah menjadi langganan banjir
seperti di Jakarta misalnya, itu tentunya juga hasil karya dari gubernurnya
yang memang belum punya kemampuan tekhnis untuk mengatasi banjir tersebut. Memang itulah akibatnya bila masalah tekhnis
diatasi dengan strategi administratif ditambah pula dengan strategi politis,
maka permasalahannya justru menjadi semakin kusut dan runyam.
Namun demikian, walau bagaimanapun; bila ditelusuri lebih
mendalam, jujur saja, kesalahan itu sebenarnya terletak ditangan masyarakat
Jakarta sendiri yang telah memilih pemimpinya.
Masyarakat Jakarta yang belum mampu melahirkan pemimpin yang
berkualitas, pemimpin yang punya kemampuan mengatasi banjir.
Jadi gimana lagi ?. Yaa itu tadi.
Kalaulah kita memang benar serius menginginkan mendapatkan pemimpin yang
berkualitas; pertama sekali yang harus dilakukan adalah perbaikilah diri kita terlebih
dahulu. Tingkatkan kepedulian terhadap
lingkungan masing-masing dengan cara tidak sepenuhnya menyerahkan tanggung
jawab lingkungan tersebut kepada orang lain.
Setelah itu pilihlah pemimpin yang punya latar belakang tehnis yang
didukung oleh politis. Jangan sebaliknya
memilih pemimpin yang justru ahli dalam berdebat dan piawai pula dalam politis,
baru belakangan didukung oleh tekhnis. Disitulah letak kesalahannya.
Selain dari itu, salah satu contoh kecilnya, apa bila kita umumnya
masyarkat Indonesia ini kelak sudah bisa untuk tidak lagi menjadi bangsa yang
kumuh, membuang sampah sembarangan; kemudian bila salah seorang dari kita yang
memang sudah ada perhatian kepedulian terhadap kebersihan itu, kalau nantinya terpilih
menjadi pemimpin; yakinlah bahwa dia itu nantinya juga akan menjadi pemimpin
yang sangat peduli terhadap kebersihan.
Tidak seperti sekarang, dimana karena mereka-mereka yang terpilih menjadi
pemimpin itu umumnya memanglah datangnya dari masyarakat umum yang kumuh, maka
tidaklah heran, bila kebanyakkan pemimpin negeri ini juga menjadi pemimpin yang
juga sangat kurang peduli terhadap kebersihan lingkungan.
Jujur saja, bila tingkat kebersihan negeri kita yang beriman ini
dibandingkan negara jiran Malaysia; maka tingkat kebersihan kita belum sampai
separohnya. Padahal kebanyakan kita
sama-sama Melayunya. Apalagi bila
dibandingkan dengan Singapura, maka tingkat kebesihan kita semakin jauh ketinggalan.
Oleh karena itu semua, kedepan mari sama-sama gunakan logika,
jangan lagi kita terus-terusan terpuruk dalam rawa politis. Bila kita semua sudah sama-sama dapat menyadari
dari sudut pandang logikanya, yakinlah masa depan kita baru bisa lebih
cerah. Semoga saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar