Selasa, 03 Desember 2013

MACET DAN BANJIR TIADA AKHIR DI JAKARTA


Jakarta darurat macet, Jakarta rawan banjir.  Itulah kini yang menghantui warga Jakarta, bahkan orang-orang yang akan berangkat ke Jakara.
Macet, banjir; semua itu tentu ada sebabnya.  Bila kita ingin mengurai permasalahan macet dan banjir ini, kita terlebih dahulu mestilah mengerti penyebab utamanya.  Karena, bila tindakan yang kita lakukan tidak sejalan dengan pokok permasalahannya; yakinlah, sampai kapanpun permasalahan itu tidak akan pernah dapat diselesaikan.
Mungkin ada orang yang sudah tahu dengan pokok permasalahan yang dihadapi Jakarta.  Tapi walau bagaimanapun, pokok permasalahan itu ternyata sampai kini belum pernah dibicarakan orang.
Sebenarnya, pokok permasalahan pertama adalah karena menjadikan Jakarta segala pusat.  Pokok permasalahan kedua adalah aliran air di Jakarta tidak pernah tuntas direncanakan, apalagi dilaksanakan.
Bila kita melihat kenegara Eropa seperti Amsterdam misalnya.  Kota itu sebenarnya adalah kota yang sebahagian besar wilayahnya berada dibawah permukaan laut.  Tetapi karena tata kotanya direncanakan secara bijak, maka kota Amsterdam tidak pernah mengalami kebanjiran.  Sungai-sungainya dan selokannya malah bisa digenangi oleh air yang jernih.
Menjadikan Jakarta sebagai pusat pemerintahan atau menjadikan Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Indonesia, tentunya adalah satu hal yang wajar-wajar saja.  Tetapi menjadikan Jakarta sebagai pusat dari segalanya, nampaknya kini sudah harus dipertimbangkan lagi.  Karena akibat sampingannya, yang bermunculan, sebagai akibat dari perlakuan menjadikan Jakarta sebagai pusat dari segalanya itu sudah semakin banyak pula.
Bila kita memperhatikan keadaan Ibu Kota Jakarta saat ini, kita akan melihat bahwasanya yang sudah terpusat disana saat ini bukanlah hanya sekedar kegiatan urusan pemerintahan saja.  Tetapi kegiatan kegiatan sosial, politik, budaya ekonomi dan militer juga telah terpusatkan di sana.
Di Jakarta saat ini, yang juga dipusatkan antara lain seperti; pemusatan berbagai stasiun-stasiun induk TV, pemusatan perdagangan (saham), pusat hiburan, musik, Ancol Dupan, olah raga ditambah lagi dengan terpusatnya sejumlah pabrik kendaraan, pabrik pakaian, pabrik obat dan pabrik electronik di Jakarta.  Itupun ternyata masih belum cukup karena rumah sakitpun, juga telah dipusatkan pula di JakartaSelain dari itu semua, tentunya masih ada lagi berbagai pemusatan lainnya.
Sekarang, permasalahannya, akibat dari perlakuan menjadikan Jakarta sebagai segala pusat itu, secara tidak langsung telah mendorong banyak penduduk negeri ini, suka atau tidak suka, terpaksa harus datang berbondong-bondong ke Jakarta untuk berbagai urusan; sehingga jadilah Jakarta sebagai kota yang semakin padat penduduk dan semakin semrawut yang akhirnya turut meningkatkan berbagai permasalahan sosial masyarakatnya.
Kepadatan penduduknya itu, telah pulah mengakibatkan semakin meningkatnya jumlah kendaraan yang mesti lalu lalang hilir mudik di Jakarta.  Seterusnya kepadatan kendaraan itu telah pula mengakibatkan banyaknya ruas jalan di Jakarta yang setiap hari terpaksa mengalami kemacetan dimana kemacetan itu akhirnya telah menjadikan pula salah satu penyebab dari terjadinya pemborosan bahan bakar.
Untuk mengatasi kepadatan penduduk, kemacetan dan berbagai permasalahan sosial lainnya di Ibu kota, berbagai langkah dan cara terpaksa pula dilakukan.
Untuk mengurangi kemacetan kendaraan dibuatlah semacam sistem three in one yang telah melahirkan joki-joki amatir.  Selain dari itu jarak U turn nya juga diperpanjang lagi.  Padahal akibat sampingan dari memperpanjang jarak U turn tersebut telah menjadikan penyebab lain dari terjadinya pemborosan pemakaian bahan bakar.  Karena untuk menuju satu tempat yang jaraknya cuma 200 meter saja misalnya, orang terpaksa harus berputar berkilo-kilo meter, sangatlah tidak efisien.  Semakin membengkaknya subsidi bahan bakar.
Tambahan lagi, di Jakarta tidak sedikit pula jalan layang yang harus dibuat yang telah menghabiskan triliunan dana.  Malahan konon kabarnya sebahagian besar dana yang tersedia untuk negeri ini telah terpaksa tersedot dipergunakan untuk mengatasi berbagai maslah di Jakarta.  Disamping itu, sebahagian dari dana yang sangat besar itu juga telah dipergunakan sekaligus untuk mempercantik Ibu Kota.
Selain dari itu, akibat sampingan dari pemusatan berbagai kegiatan itu; maka pembangunan dam/ kanal banjir di Jakarta untuk mengurangi resiko banjir juga telah menelan dana yang tidak sedikit pulaPadahal, meskipun demikian, bantuan dari kanal banjir tersebut untuk mengurangi resiko banjir di Jakarta sebenarnya tidaklah seberapa, karena pokok permasalahan yang sangat mendasar dari penyebab timbulnya banjir itu; sampai kehari ini hampir-hampir tidak pernah disinggung.  Akibatnya, meskipun kanal banjir itu dibuat sama besarnya sebesar kota Jakarta itu sendiri, yang namanya banjir akan tetap saja terjadi di Jakarta.  Begitu pula dengan rencana me-normalisasi 3 sungai besar di Jakarta, itupun hanya akan mengurangi sedikit resiko banjir di Jakarta. Kenapa ??
Kesalahan dalam penanganan penanggulangan banjir di Jakarta selama ini, sebenarnya bukanlah hanya terjadi di Jakarta saja tetapi juga terjadi diseluruh negeri ini. Akibatnya, jangankan dataran rendah, dataran tinggi sekalipun dinegeri ini juga bisa mengalami banjir.  Kenapa itu bisa terjadi ?, dimana salahnya ?.  Untuk jawabannya, mari sama-sama kita simak pendapat berikut ini. Lihat gambarnya dan contoh soalnya.
Sekitar setengah abad yang lalu, rata-rata daerah dinegeri ini, pada satu level dataran permukaan tanah; didepan sebuah bangunan (misalnya).  Saat itu ada sebuah parit dengan lebar 2 meter dan kedalamannya 3 meter.  Ketika itu air yang mengalir pada pada parit atau sungai kecil itu, pada hari-hari biasa hanya dengan kedalam sekitar 50 centimeter.  Karena air yang mengalir disungai itu barulah hanya sekedar air buangan rumah tangga dan sedikit rembesan air tanah.  Sedangkan dimusim hujan yang lebat sekalipun, permukaan air diparit tersebut akan naik hanya sekitar 1 ½  meter saja.  Oleh karena itu, berarti masih ada sisa ketinggian 1½ m lagi, sehingga permukaan halaman rumah masyarakat ketika itu tetap saja masih aman dari banjir.
Kini permasalahannya, setelah puluhan tahun masa berlalu; kedalam dasar sungai itu sudah semakin dangkal karena telah diisi dengan berbagai barang buangan tambah lagi dengan tanah permukaan yang hanyut setiap saat semakin tebal mengisi dasar sungai kecil itu.  Akibatnya, kalau tadinya kedalaman dasar sungai masih 3 meter, sedangkan kini kedalaman sungai rata-rata sudah tinggal ½ meter saja lagi.  Oleh sebab itu, bila hujan lebat datang; tentu saja sungai tersebut tidak akan mampu lagi menampung luapan air hujan yang jumlah debet airnya akan menjadi lebih banyak dari masa sebelumnya; untuk dialirkan ketempat yang lebih rendah.  Air hujan yang tidak tertampung itu tentunya akan tergenang merendam daerah sekitarnya (alias banjir).  Kesalahan ini semakin diperparah lagi dengan perilaku menimbun atau meninggikan jalan lebih tinggi dari permukaan halaman (dataran) asalnya
Sebenarnya, perilaku bangsa ini yang meninggikan jalan, tambah lagi meninggikan jembatan itulah yang menjadi penyebab utama dari terjadinya banjir berkepanjangan dinegeri ini sebagaimana lebih dijelaskan lagi dengan gambaran berikut ini:























































Dari gambaran diatas dapatlah dipahami bahwasanya meninggikan jembatan adalah suatu kesalahan fatal yang telah menjadi salah satu penyebab utama dari terjadinya banjir khususnya di Jakarta, umumnya diseluruh negeri ini.  Mestinya yang harus dilakukan adalah menyingkirkan endapan yang mengakibatkan dangkalnya sebuah sungai dan parit sementara jembatan haruslah tetap dibangun sejajar dengan jalan. (kecuali memang ada kapal tiang tinggi yang harus lewat dibawah jembatan tersebut)
Tidak ada jalan lain.  Berikut ini adalah gambaran perbuatan konyol yang telah dilakukan bangsa ini karena telah meninggikan jembatan yang kelak pasti akan menimbulkan banjir.  Percayalah. (kalau hanya sungai saja yang di kerok seperti rencana me-normalisasi 3 sungai besar di Jakarata yang akan dilaksanakan pada tahun 2013; itu tidak akan banyak menyelesaikan masalah).





Berdasarkan analisa yang telah dijelaskan diatas, maka jelaslah untuk mengurangi terjadinya banjir dimana saja dinegeri ini, teristimewa di Jakarta tidak ada jalan lain selain dari mengembalikan kedalaman semua parit hulu dan sungai sebagaimana aslinya dulu dan akan lebih baik lagi bila semua aliran air itu bisa digali lebih dalam lagi.  Jadi yang mesti dikerok atau didalamkan itu bukan hanya sungai saja tetapi juga termasuk semua parit dan selokan.  Kemudian, ketika hari hujan haruslah diadakan pemeriksaan dimana saja parit dan selokian yang masih tidak mampu menampung air hujan agar bisa segera didalamkan.  Adalah salah besar bila ketika itu berfikir dan berusaha untuk menimbun dan meninggikan baik halaman maupun jalan.  Dengan cara ini, yakinlah banjir berkepanjangan di Jakarta pasti akan sangat jauh berkurang.  Hanya itulah satu-satunya cara.  Tidak ada jalan lain.
Lebih jelasnya lagi; kalaulah keputusan meninggikan jembatan itu adalah disebabkan karena memang ada perahu tiang tinggi yang akan lewat dibawahnya, itu boleh-boleh saja; tetapi meninggikan jalan lebih tinggi dari dataran asal semula jadi sebuah daerah adalah satu kesalahan besarMeninggikan jalan lebih tinggi dari permukaan tanah asalnya dimana bangunan atau rumah penduduk sejak lama sudah ada, itu sama saja halnya dengan sengaja menciptakan banjir untuk daerah tersebut. Mestinya yang harus dilakukan oleh para ahli dinegeri ini dalam rangka memperbaiki jalan, adalah membuat, merapikan dan mendalamkan parit di kedua sisi jalan.  Seterusnya mengusahakan agar tidak ada lagi air yang tergenang di parit-parit tersebut termasuk parit dan sungai sampai kemuaranya, air mestilah dapat mengalir dengan lancar; tidak tanggung-tanggung seperti yang dilakukan selama ini.   Hanya itulah satu-satunya cara untuk mencegah terjadinya banjir, tidak ada jalan lain.  Kecuali bila daerah itu semenjak dulunya memang adalah seperti danau sementara jalan memang harus dibuat didaerah tersebut, itu lain hal.
Kita menyadari untuk mengembalikan kedalam saluran air ini mulai dari parit rumah tangga, parit kecil sampai kepada sungai besar akan membutuhkan dana bisa triliunan rupiah.  Namun demikian mengeluarkan dana triliunan untuk sekali atau dua tahap itu akan jauh lebih baik dari pada bangsa ini harus terus-terusan dipaksa oleh banjir untuk menghamburkan triliunan rupiah hampir disetiap musim hujan.  Triliunan rupih yang dipaksa oleh banjir untuk dihamburkan berulang kali yang di maksudkan disini adalah karena bila banjir terjadi, maka kita bangsa ini akan terpaksa mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk memperbaiki berbagai bentuk kerusakan, kehilangan, kecelakaan, meninggal sampai-sampai jalan yang longsor dan jembatan yang rusak atau hanyut.  Katanya banjir berkepanjangan ini yang diakibatkan oleh karena salah kaprah dalam penangannannya, bisa terjadi tiga kali, sepuluh kali bahkan lebih dalam setahun.  Tidakkah kita pernah mencoba menghitung bahwasanya banjir berkepanjangan itu telah menghabiskan dana mungkin bisa mencapai ratusan triliun ?. 
Demikianlah salah satu dari sekian banyak kesalahan atau kejahilan yang telah dilakukan anak bangsa ini.  Padahal kalaulah kita mau berguru kepada negara-negara maju seperti sistem yang diberlakukan di Amerika misalnya, dimana berbagai macam permasalahan yang mestinya terjadi di ibu kota negaranya, telah dapat mereka tekan sedemikian rupa sehingga dapat pula menghemat triliunan dana, yang akhirnya triliuan dana yang dapat dihemat itu dapat pula dipergunakan untuk keperluan lain.  Tidak seperti dinegara kita yang terpaksa menghabiskan triliunan dana setiap tahunnya hanya untuk memperbaiki kesalahan yang sama sepanjang masa.  Sekarang mari kita coba memperhatikan apa saja yang telah dilakukan oleh Amerika.
Dengan taktik pembangunan yang cukup bijak, sebagai bangsa yang cerdas, sejak lama Amerika telah menjadikan Washington. DC khusus hanya untuk urusan kegiatan administrasi negara saja yang memang bersifat nasional.  Di Washington. DC tidak boleh ada kegiatan selain dari kegiatan urusan negara yang berskala nasional termasuk pabrik tidak boleh ada disana.
Untuk urusan perdagangan Amerika telah menetapkan New York sebagai pusatnya.  Las Vegas sebagai pusat hiburan termasuk pertandingan tinju kelas dunia diadakan disana ditambah lagi dengan pusat perfilemannya, Hollywood juga ada disana.  Cape Canaveral sebagai pusat Antariksa.  West Point sebagai pusat militer. California, Texas, Oklahoma dan Ontario sebagai pusat industri berat, ringan dan seterusnya.
Dengan taktik pembangunan seperti itu, Amerika Serikat dapat mengurangi banyak sekali kemungkinan berduyun-duyunnya orang datang ke Ibu Kota Negaranya, Washington. DC, sekaligus menghindari terjadinya semrawut dan kasak kusuk di Ibu Kotanya.  Karena untuk setiap kepentingan, orang Amerika akan terpencar dengan sendirinya keberbagai kota, sesuai dengan ketrampilan dan kebutuhan masing-masing rakyatnya.
Taktik penataan kota seperti yang dilakukan oleh Amerika itu sebenarnya sudah patut sekali untuk dipertimbangkan, dicontoh dan seharusnya sudah lebih awal direncanakan oleh Pemerintah Indonesia.  Dengan menetapkan Jakarta benar-benar menjadi DKI, tidak hanya slogan.  Daerah khusus Ibu Kota Negara yang benar-benar khusus untuk urusan negara.  Di Jakarta, kedepan yang boleh ada hanya untuk urusan kegiatan dan administrasi negara saja, DPR RI dan MPR.  Kemudian Kementerian yang ditetapkan untuk berada di Jakarta hanya kementerian yang setingkat Menko seperti; Menko Ekuin, Menko Kesra, Menko Polhukam serta Kasad, Kasau, Kasal, Kapolri, Kejagung dan Mahkamah Agung.  Selain dari itu tidak boleh lagi ada di Jakarta melainkan harus berada diluar Jakarta seperti: kegiatan olah raga, hiburan, perfileman, perdagangan, militer apalagi pabrik harus berada diluar Jakarta.  Untuk kegiatan lainnya seperti Kementerian Agama misalnya sebaiknya di tempatkan di Aceh, Kementerian Perindustrian di tempatkan di Medan, Kementerian Perminyakkan ditempatkan di Pekanbaru, Kementerian Perdagangan dan Ekonomi di tempatkan di Batam (dimana BEJ seharusnya juga ditempatkan di sana), Kementerian Pertanian ditempatkan di Bogor, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ditempatkan di Jokjakarta, Kementerian Pariwisata ditempatkan di Bali, Kementerian Kehutanan ditempatkan di Balik Papan, Kementerian Olah Raga ditempatkan di Makasar, Kementrian Pertambangan ditempatkan di Monokwari, Biak atau Merauke.  Kementerian Perikanan ditempatkan di Maluku,  Kegiatan militer di pusatkan di Daerah Kalimantan Utara.  Demikian pula dengan masalah pemusatan lainnya seperti misalnya; Pusat Hiburan, Pusat Perfileman, Pusat Iptek, bahkan mungkin juga Pusat Perjudian di carikan pula tempatnya yang lebih tepat.  Bandung misalnya mungkin kota yang tepat untuk Pusat Iptek, Surabaya mungkin kota yang tepat untuk Pusat Perfileman dan hiburan, dan seterusnya.
Melihat keadaannya sekarang, Ancol dan Dupan karena sudah bersifat hiburan skala nasional, sangatlah tidak tepat keberadaannya di Jakarta.  Mestinya Ancol dan Dupan ditempatkan di Surabaya sebagai kota pusat hiburan -- misalnya.  Kalau TVRI dan Taman Mini Indonesia, memanglah sangat tepat keberadaannya di Jakarta karena memang bersifat nasional.
Dengan cara seperti ini – walaupun agak terlambat tapi itu masih lebih baik dan mestinya bisa kalau kita mau dari pada tidak sama sekali  --  Ibu Kota Jakarta dijamin akan terjauh dari kasak kusuk.  Merek  3 in one yang dipasang dijalan-jalan utama kota Jakarta sudah tidak akan diperlukan lagi.  Pemborosan BBM akan banyak dapat dikurangi karena belokan U dapat diperbanyak lagi dan pembangunan yang seimbang antara pusat dan propinsi pasti akan lebih merata.  Kecemburuan dan kesenjangan sosial pasti akan sangat berkurang.  Lebih jauh, dengan taktik pembangunan seperti ini, kelak akan tercipta perisai yang lebih kokoh terhadap kedaulatan bangsa ini. 
Sejalan dengan kebijaksanaan itu, yang tak kalah pula pentingnya adalah perhatian yang lebih bersunguh-sunguh dan anggaran dana untuk petani didaerah mutlak pula ditingkatkan.  Petani didaerah mestilah diberikan berbagai kemudahan.  Mulai dari kemudahan mengawali untuk jadi petani, mendapatkan pupuk dan benih asli yang mudah, menanam yang mudah, panen yang mudah, pengangkutan hasil panen yang mudah, sampai pada kemudahan penjualan yang bukan hanya dengan harga tengkulak.
Sejalan dengan itu pula, program keluarga berencana mestilah kembali digiatkan –dengan cara yang santun tentunya -- agar keseimbangan antara jumlah penduduk dengan tersedianya lahan rezeki tidak semakin jauh.  Logikanya, bila jumlah penduduk semakin lebih banyak dari tersedianya lahan rezeki, maka alam secara otomatis akan bekerja dengan sendirinya memaksa menciptakan keseimbangan itu dengan cara mengurangi jumlah penduduk yang semakin padat ini.
Ada beberapa cara unik dari alam ini yang sering tidak disadari secara otomatis akan memaksa manusia untuk mengurangi jumlah penduduk di bumi ini yaitunya dengan cara terjadilah banjir, dengan cara munculah berbagai penyakit mematikan yang menulari banyak orang, dengan cara terjadilah perang memperebutkan lahan rezeki.  Perang antara pribadi, perang antara kelompok, suku sampai perang antara bangsa.  Dalam setiap perang puluhan, ratusan bahkan ribuan orang bisa mati dalam waktu singkat.  Itulah caranya alam menciptakan keseimbangan antara jumlah penduduk dengan lahan rezeki.  Itulah dia KB alam yang sebenarnya.  Itulah yang akan terjadi bila kita tidak melakukan program KB, alam akan memaksanya.  Afala tafakkarun  ??
Memang banyak juga orang yang berpendapat bahwasanya setiap ada nyawa pasti ada rezekinya.  Betul, memang benar, sesuap nasi, sepotong roti, sebiji kurma, pondok plastik hunian dibawah kolong jembatan itupun sebenarnya sudah bisa dikatakan rezeki; tetapi apakah rezeki sesuap nasi dengan hunian pondok plastik atau tenda biru itu sudah bisa dikatakan mencukupi kebutuhan dasar???.  Mari sama kita renungkan.  Apakah kita harus menunggu perintah alam dulu yang secara otomatis akan memaksa kita menggiatkan program keluarga berencana ini ???.
Bila taktik pembangunan seperti ini dapat dilakukan  --  ya mesti bisalah kalau ada kemauan  --  , yakinlah berjubelnya orang ke Ibu Kota, bertumpuknya sampah di Ibu Kota dan semrawutnya Ibu Kota akan banyak sekali (significantly ?) dapat dikurangi.  Karena sebagaimana telah sama-sama diketahui bahwa sebenarnya hanya sebahagian kecil saja orang-orang desa yang benar-benar ingin hijrah ke Ibu Kota meninggalkan kampung halamannya.  Atau merantau menjadi tenaga kerja jauh kenegeri orang, meninggalkan orang-orang yang dicintainya di kampungnya, meninggalkan jantung hatinya.  Lebih banyak orang-orang desa yang sebenarnya ingin tetap tinggal didesanya mengurus tanah warisan leluhurnya, daerah dimana dia dilahirkan, bila seandainya sudah bisa mendapatkan empat sehat dikampungnya walaupun belum lima sempurrna, dari pada harus adu nasib ke ibu kota apalagi keluar negeri, yang tingkat keberuntungannya juga masih untung-untungan.
Nah, kini karena sudah ada contoh, agar tidak terjebak pula mengikuti tata ruang kota Jakarta yang telah terlanjur menjadi kota kasak kusuk, sebaiknya mulai sekarang setiap Ibu Kota Propinsi dan kota besar lainnya  yang makin berkembang mestinya sudah seharusnya lebih awal menyusun langkah.  Dengan membagi, menetapkan daerah-daerah tertentu di daerahnya untuk menjadi pusat masing-masing kegiatan.
Salah satu diantara Ibu Kota Propinsi yang sangat dikenal oleh Penulis seperti Pekanbaru misalnya, Ibu Kota Propinsi Riau sudah seharusnya ditetapkan khusus hanya untuk urusan kegiatan dan adminstrasi Propinsi saja.  Kota Duri ditetapkan sebagai kota perminyakan dan industri menengah.  Bangkinang sebagai kota militer.  Kampar sebagai pusat pertanian.  Bagan Siapi-api sebagai pusat perikanan.  Bengkalis sebagai pusat pariwisata.  Dumai sebagai pusat hiburan dan seterusnya dan seterusnya.
Demikianlah bila usulan ini dapat dilaksanakan, keterkaitan antara satu kota dengan kota yang lainnya tentu akan semakin lebih baik lagi.  Bila seseorang memerlukan urusan keagamaan ia akan mengarah ke Aceh.  Bila ia memerlukan urusan perikanan, dia akan menghadap ke Maluku.  Bila dia akan berurusan dalam hal pertambangan dia akan berurusan ke Monokwari.  Bila harus berurusan dalam hal perdagangan, dia akan menghubungi Batam dan seterusnya.  Sehingga akan semakin terasalah Bhineka Tunggal Ikanya Indonesia ini.  Tidak seperti sekarang, karena semuanya dipusatkan di Jakarta, orang cendrung merasa seolah Jakarta itu adalah satu negara dalam negara Indonesia ini.
Sampai disini orang tentu akan langsung geleng-geleng kepala.  Mana mungkiiiin cara itu bisa diberlakukan.  Karena jarak dan tempatnya itu akan saling berjauhan.  Tetapi tunggu dulu.  Empat puluh tahun yang lalu, ketika Telegram masih menjadi primadona, ketika waktu yang dibutuhkan untuk mengirim surat dari satu kota kekota lain masih butuh waktu satu sampai dua minggu, ketika telepon masih di engkol,  ketika tukang pos masih pakai sepeda; usulan ini memanglah mustahil.  Tetapi kini, dizaman komputer dan internet ini, tidakkah kita menyadari bahwa bumi ini sudah semakin kecil.  Kini, hanya dengan menekan beberapa tombol saja, orang sudah bisa mengirim dan mengambil uang dalam hitungan menit.  Padahal dulu kalau dengan wessel pos hal itu bisa sampai berhari-hari bahkan berminggu-minggu.  Kalau dulu, untuk urusan komunikasi jarak jauh paling cepat baru hanya dengan telpon SLJJ, itupun teleponnya tidak pula bisa dibawa kemana-nama.  Oleh karena itu, dimasa lalu orang masih butuh ORARI, itupun tidak bisa sembarang orang memilikinya.
Lain halnya kini, dizaman tekhnologi komunikasi yang semakin canggih ini; anak SD pun sudah bisa berkomunikasi ke sebalik bumi ini dari HP dikantongnya.  Jadi kalau mau merujuk kepada kecanggihan komunikasi saat ini bahkan internet meetingpun bisa dilakukan orang.  Oleh karena itu, apa yang disarankan ini sebenarnya adalah suatu hal yang wajar-wajar saja, tidak ada luar biasanya.  Dengan kata lain semua itu sebenarnya sangat tergantung bagaimana kecerdasan kita mengaturnya.
Dulu, ketika semasa Thomas Alfa Edison masih kasak kusuk membuat percobaanya, orang-orang sekitarnya kesal setengah mati ingin tahu apa sebenarnya yang ingin di buat oleh pemuda putus sekolah itu.  Awalnya dia tidak mau menjelaskan apa yang sedang direncanakannya, tetapi karena sering didesak, akhirnya Thomas muda mencoba menjelaskan bahwa yang sedang dilakukannya adalah berusaha membuat “lampu tahan angin”.  Mendengar penjelasan itu, kontan saja orang mencibir.  “Manalah mungkiiiiiin”, kata orang sambil tertawa.  Cemoohan orang ketika itu memang cukup beralasan karena zaman itu, semenjak ribuan tahun sebelumnya, belum pernah ada yang namanya lampu tahan angin.  Namun, setelah pada satu malam badai bersalju, lampu Edison ternyata bisa bertahan menyala terang tidak padam, barulah orang mengerti bahwasanya yang dimaksudkan Edison itu sebenarnya apa.
Demikian pula semasa Hendry Ford lagi kasak kusuk mengutak atik mesinnya, ia beberapa kali diusir dari rumahnya, karena perilakunya mengutak atik mesin tersebut telah mengeluarkan suara bising yang sangat menggangu ketentraman lingkungannya  --  belum ada knalpot ---.  Dan ketika ia ditanya apa yang akan dibuatnya, orang pun menjadi tertawa mencemoohkannya karena ia mengatakan sedang berusaha membuat “kereta tak berkuda”.  Suatu hal yang belum pernah terjadi semenjak ribuan tahun yang lalu.  Sehingga jawabannya itu sungguh sangat menggelikan orang ketika itu.  “Mana mungkiiin ada kereta yang tidak memakai tenaga kuda”, kata mereka lagi.  Namun ketika pada suatu tengah malam, orang-orang desanya tersentak bangun karena suara bising yang ditimbulkan mesin Hendry Ford yang melintas di depan rumah mereka sehingga orang-orang berlarian keluar rumah ingin menyaksikan apa yang terjadi.  Ketika itulah orang kembali geleng-geleng kepala sambil mengusap matanya, bagaikan mimpi tidak percaya akan apa yang dilihatnya.  Mereka melihat kereta Hendry Ford yang tidak ditarik kuda, dengan santainya bergerak didepan mereka.
Lain lagi halnya dengan Wright brothers yang sempat dikatakan orang gila oleh masyarakatnya ketika mereka mengatakan sedang berusaha membuat mesin terbang.  Orang-orang ketika itu ribut berlarian ketanah lapang sambil berteriak “ ayo mari ramai-ramai melihat ada orang gila mau menerbangkan mesin”, demikian mereka mencemoohkan.  Orang yakin rencana Wright Brothers tidak akan berhasil.  Karena jangankan menerbangkan mesin, menerbangkan layang-layang sajapun kalau tidak ada angin bertiup tidak akan bisa main layang-layang.  Walaupun demikian, sejarah dunia langsung mulai berubah karena ketika itu ternyata Wright muda berhasil pada percobaan pertamanya.  Padahal kini lebih seratus tahun setelah orang mencemoohkan Wright Brothers, para pilot santai saja menerbangkan pesawat yang beratnya bisa lebih dari seratus ton.    
Begitulah, memang, penulis menyadari sepenuhnya bahwa apa yang disarankan ini kedengarannya benar-benar aneh bin ajaib, mungkin juga diluar kebiasaan, atau mungkin juga ngawur kata orang.  Sehingga usulan ini mungkin juga akan sulit dicerna.  Tetapi kalau kita memang mau kenapa tidak.  Karena dalam jangka panjang, hanya itulah baaaru cara terbaik untuk menghindari semrawutnya Ibu Kota.  Itulah baaaru cara terbaik untuk pemerataan pembangunan.  Itulah baaaru cara terbaik untuk leeebih memeratakan kesejahteraan masyarakat banyak.  Itulah baru tekhnologi terbaik untuk mengurangi terjadinya banjir.
Bila orang-orang barat sudah mampu menciptakan komputer yang saaaangat diperlukan oleh dunia, mengapa kita menata ulang kota saja tidak bisaaa ??.  Kalau Cina mampu membuat proyek 350 tahun, tembok Cina, kenapa kita mesti harus selalu terpaku dengan proyek pembangunan yang cuma 5 tahun ???.  





Senin, 02 Desember 2013

PABRIK SAMPAH


Pada suatu ketika dulu, pada pertengahan tahun 2001, Penulis pernah melakukan perjalanan ke negara jiran, Malaysia.  Untuk sampai di Malaysia, Penulis berangkat dari pelabuhan Dumai naik ferry menuju Malaka.
Awalnya sebelum berangkat, Penulis belumlah punya sedikitpun bayangan gambaran tentang keadaan lingkungan dari negara tersebut.  Penulis hanya punya bayangan bahwa bahasa dan cindera mata dinegeri mereka yang berbeda dari bahasa dan cindera mata di negeri kita.  Namun, betapa kagumnya Penulis karena baru sampai dipelabuhan Malaka saja, Penulis sudah dapat merasakan suasana yang sangat bebeda dari suasana pelabuhan Dumai.
Sebelumnya, ketika masih berada di Dumai, Penulis rasanya seperti sedang berada dalam satu lingkungan timbunan sampah; tetapi ketika baru saja sampai dipelabuhan di Malaka, rasanya Penulis baru saja keluar dari timbunan sampah dan masuk kedalam negeri yang bersih dan tertata lebih rapi.
Dipelabuhan itu, sepertinya sudah rutin, rombongan kami yang terdiri dari sekitar 40 orang disuruh berbaris antri oleh petugas untuk pemeriksaan passport.  Tetapi antrian kami itu ternyata bisa bertahannya cuma beberapa menit saja, setelah itu tanpa memperdulikan kehadiran petugas imigrasi, semua orang dari rombongan kami yang tidak sabar menunggu giliran langsung saja main serobot.  Yaaa biasalah mereka lakukan seperti di negeri kita.  Melihat keadaan ini, petugas imigrasi Malaysia tersebut dengan kesalnya segera berteriak “oii nceeek oiii antriiii nceeeeek” , demikian petugas itu mengingatkan.
Mendengar teriakkan petugas ini, semua orang dalam rombongan kami, dengan muka masamnya kembali berbaris dengan pengaturan sang petugas.  Namun baru beberapa saat saja, barisan antri kami sudah amburadul lagi.  Melihat keadaan ini, sang petugas yang semakin kesal kembali berteriak “ nceeek oiii antriiii antriii nceeeek, sedangkan heiwan boleh nak antri nceeeek” demikian sang petugas imigrasi kembali memaksa antrian kami.  Ketika itu dalam hati Penulis berkata, ya beginilah sungguh sangat menyakitkan dan memalukan mentalnya bangsa kita ini, sampai-sampai dikatakan sama dengan hewan oleh petugas imigrasi Malaysia.  Padahal orang-orang yang berada di rombongan kami itu kelihatannya adalah orang-orang baik semua, tidak kelihatan muka-muka premannya, tetapi didalam hati mereka ternyata belum ada istilah antri.
Begitulah setelah melewati suasana amburadulnya rombongan kami ketika pemeriksaan passport, rombongan kami diarahkan oleh Pemandu wisata untuk menaiki bus pariwisata yang telah disiapkan menunggu kami.  Tetapi kembali seperti tadi, semua orang dari rombongan kami kembali berebutan memaksa untuk naik bus layaknya orang-orang yang sedang berebutan naik bus kota saja.  Melihat keadaan ini, pemandu kami hanya senyum-senyum pahit saja.  Barangkali dia memang sudah terbiasa melihat manusia-manusia serobotan seperti kami yang datang dari Indonesia
Ketika bus sudah mulai berjalan, dari atas bus Penulis mencoba melayangkan pandangan keluar.  Suasana sekitarnya terlihat sangat berbeda dari suasana di Dumai, bahkan di Ibu Kota sekalipun, negeri yang penuh sampah bertaburan.  Di sepanjang perjalanan menuju penginapan, bahkan ketika melewati pasar, Penulis tetap saja melihat suasana yang bersih rapi dan teratur.  Padahal tidak tampak adanya polisi, tukang parkir yang mengatur.  Petugas kebersihan juga tidak banyak kelihatan.  Disebelah kiri dan kanan jalan tampak dibuatkan pula parit yang sangat pantas untuk menghindari terjadinya longsor dan banjir.  Sebagai seorang pelaku tekhnis, melihat bagaimana parit itu dibuat, Penulis langsung dapat memahami bahwa sistem pembuatan parit dinegara itu memang dirancang dan dikerjakan oleh orang-orang tekhnis.  Bukan seperti dinegara kita Indonesia dimana parit dan jembatan telah dirancang dan dikerjakan oleh orang-orang politik, maka wajar saja negeri ini menjadi langganan banjir.
Malam itu kami menginap di satu hotel dan malam itu kami berjalan-jalan keliling cuci mata sekedar melihat-lihat.  Ketika itu kami kembali tidak melihat adanya Polisi, Tukang parkir, Pengamen, Pengemis bahkan orang gila yang menganggu ketenangan pengunjung di warung-warung dan cafe juga tidak kelihatan.  Benar-benar sangat terasa bedanya dengan negeri kita yang semrawut.  Benar-benar terasa kenyamanan lingkungannya.  Benar-benar terasa kalau disana memang ada pemerintahan yang mengatur atau mungkin juga karena masyarakatnya sendirilah yang memang sudah bisa mengatur diri mereka sendiri, peduli pula dengan kebersihan dan kertiban.  Sehingga negeri mereka tidak perlu lagi terlalu banyak menghamburkan uang untuk membayar orang-orang atau petugas untuk melakukan perkerjaan pengaturan dan kebersihan itu.  Sehingga dana yang terkuras untuk itu, dapat dipergunakan untuk hal lain yang lebih bermanfaat.
Esok harinya, setelah sarapan rombongan kami mulai kembali melakukan perjalanan.  Disepanjang perjalanan, lagi-lagi Penulis melihat suasana yang rapi dan teratur.  Sehingga sampai ketempat tujuan wisatapun pun Penulis tidak melihat adanya puntung rokok, kertas-kertas yang berserakkan, botol-botol minuman yang bertaburan apalagi onggokan sampah memang sulit dicari disana.  Dan hebatnya lagi, disana Penulis tidak melihat adanya tulisan “JAGALAH KEBERSIHAN” , “BERSIH ITU SEHAT” , “BUANGLAH SAMPAH PADA TEMPATNYA” dlsb.  Mungkin karena Penulis memang terlahir sebbagai salah satu dari sejumlah orang yang senang dengan keteraturan, kerapian dan kebersihan; maka suasana bersih, rapi dan teratur yang terlihat di negeri jiran tersebut betul-betul saaangat menarik perhatian Penulis.
Beberapa hari kemudian, rombongan kami sampai di negeri Singapura.  Ternyata di negeri Singapura, masalah kebersihan dan keteraturan malah lebih baik lagi dari di Malaysia.  Sungguh sangat nyaman rasanya.  Kalau melihat kebersihan itu, ingin rasanya hati berlama-lama disana.  Didalam hati Penulis kembali berkata, sepertinya orang-orang di Malaysia dan di Singapura itu jarang sekali menghasilkan sampah.  Entah cara apa yang mereka lakukan, ingin rasanya hati bertanya kepada penduduk negeri itu.  Padahal mereka itu serumpun bangsa dengan bangsa Indonesia yang dikatakan Melayunesia.  Kenapa dalam hal kebersihan kok jauh sekali bedanya.  Ketika itu Penulis kembali teringat dengan sebuah tayangan yang ditayangkan oleh TVRI sekitar tahun 1982 tentang pabrik sampah disebuah kota di Negeri Jepang.
Pada tayangan itu dijelaskan bagaimana dari awalnya sampah dari berbagai pabrik dimasukkan kedalam sebuah peti kemas panjang diatas sebuah trailer.  Dan juga ditayangkan pula bagaimana para pekerja sampah mengangkat sampah dari tong sampah dijalanan dengan mesin hydrolic dan ada pula yang menyedod sampah dengan mesin penyedod seperti di Mekah, Saudi Arabia.  Setelah itu, semua pengangkut sampah ini bergerak menuju satu pabrik yang khusus didirikan pada satu tempat yang tidak jauh dari pusat kota.
Sesampainya di pabrik sampah, semua kedaraan pengangkut sampah segera membongkar muatan yang dikerjakan dengan mesin pembongkar.  Sampah yang dibongkar ini pertama sekali diterima oleh satu mesin mirip keranjang besi besar berputar yang besar diameternya sekitar 4 meter dan panjangnya sekitar 10 meter.  Kedalam keranjang besi besar yang berputar ini ditiupkan pula udara panas untuk mengurangi kelembaban.  Dari saringan keranjang besi besar yang terus berputar ini keluarlah batu, kerikil dan pasir serta benda-benda lainya yang bisa melewati lobang keranjang sebesar sekitar 15 cm dan ditampung oleh satu conveyor menuju satu tempat untuk dicurahkan.  Diujung tempat pencurahan ini, dibahagian sebelah atas sekali telah menunggu magnet listrik yang berputar siap setiap saat untuk menangkap semua logam yang bisa ditarik dengan magnet.  Sedikit dibawahnya disiapkan pula tiupan angin untuk memisahkan/  menerbangkan benda-benda yang lebih ringan dari pasir dan kerikil kelain tempat sehingga yang tersisa jatuh hanyalah semua bahan yang lebih berat itupun ditampung lagi dengan satu ban berjalan ketempat pemisah batu, kerikil dan pasir.  Disamping sepanjang ban berjalan ini telah siap pula beberapa orang pekerja untuk mengutip bahan yang tidak bisa ditarik oleh magnet listrik seperti; almunium, tembaga, kuningan dan benda lainnya.  Tinggallah pasir, kerikil dan batu yang tercurah di ujung ban berjalan itu dan diujung ban berjalan itu telah pula menunggu semprotan air untuk mencucinya. Seterusnya dibawa ketempat pengeringan dan penyaringan untuk dipisahkan antara pasir, kerikil dan batu.
Sementara itu, semua benda logam yang bisa ditarik oleh magnet listrik, dibawa kesatu tungku pembakaran pada suhu tertentu yang akan menghasil ratusan kilo timah dan berton-ton besi setiap harinya.  Kemudian semua benda ringan seperti kertas kayu kecil yang telah terpisah dikumpulkan dan dibawa pula ketungku, dibakar dimana apinya dimanfaatkan untuk menghidupkan pembangkit tenaga listrik mirip PLTU.  Tenaga listrik yang dihasilkan dengan bahan bakar sampah itu sepenuhnya dipergunakan untuk keperluan pabrik itu sendiri
Kembali kepengolahan awal.  Setelah semua benda-benda yang berukuran kurang dari 15 cm lolos dari keranjang saringan, tinggallah sisanya seperti besi panjang, kayu-kayu besar dan semua benda-benda besar lainnya yang tidak lolos di keranjang saringan itu.
Sejenak perputaran keranjang dihentikan.  Semua benda-benda besar dan panjang yang tidak lolos tadi di keluarkan oleh pekerja dan dibawa ketempat terpisah untuk dipisah-pisahkan atau pengolahan lanjuttannya.  Terutama benda-benda yang patut atau bisa dibakar,  akan dibawa pula menuju tungku pembakaran yang tujuan utamanya adalah selain melebur kaleng-keleng dan besi, juga untuk membangkitkan tenaga listrik tadi.  Cara yang dipergunakan dalam pembakaran inipun adalah sistem ramah lingkungan.  Karena asap pembakaran dipompakan melalui satu bak air sehingga pencemaran udara bisa ditekan serendah mungkin dan tidak banyak menggangu walaupun pabrik sampah ini terletak tidak jauh dari pusat kota.
Dengan cara pengolahan sampah seperti yang dijelaskan ini, ada beberapa keuntungan yang bisa didapatkan sekaligus:.
1.    Sampah praktis menjadi sangat diperlukan untuk kelangsungan hidupnya pabrik sampah tersebut
2.    Karena sampah menjadi bahan baku pabrik, maka sampah yang berserakkan dimana-mana menjadi sangat berkurang.
3.    Sejumlah tenaga ahli seperti; ahli kimia, ahli limbah, ahli listrik, ahli mekanik, ahli mesin, ahli komputer, ahli administrasi dlsb akan diserap oleh pabrik ini.  Disamping puluhan pekerja kasar yang juga dapat diserap.
4.    Ratusan kubik pasir, kerikil, batu, ber-ton-ton besi, tembaga, timah, almunium, plastik dan juga kompos dihasilkan setiap harinya.
5.    Semua hasil akhir ini dapat dijual untuk menghasilkan uang yang dapat membiayai kebutuhan pabrik sampah itu sekaligus menggaji para pegawainya.  Tidak perlu lagi dana dari APBDN.
6.    Yang diperlukan hanyalah modal awal untuk mendirikan pabrik sampah tersebut.  Sedangkan biaya pengolahan setiap harinya sudah bisa langsung ditutupi bahkan lebih dari hasil sampingan yang dapat dijual.

Kesimpullannya; Pabrik sampah ini dapat berjalan dengan sendirinya tanpa harus banyak menghabiskan dana disamping dapat menunjang kebersihan dan menyerap sejumlah tenaga kerja.  Dalam hati ketika itu Penulis berharap kelak pemerintah kita Indonesia mudah-mudahan tergerak pula hatinya untuk mendirikan pabrik sampah seperti yang ada di Jepang tersebut.  Penulis juga membayangkan andai kata untuk satu pabrik sampah saja diperlukan 60 orang pekerja dan kalau rata-rata setiap kota punya satu atau mungkin lebih pabrik sampah seperti di Jakarta misalnya mungkin perlu 5 pabrik sampah ini.  Kemudian dikali dengan jumlah kota-kota di Indonesia ini, katakanlah sampai 200 kota, maka 200 kali 60 orang, maka 12.000 orang tenaga kerja akan diserap oleh pabrik sampah ini.  Kapan ya bisa terlaksana???.  Demikianlah khyalan Penulis ketika itu ternyata harus berhenti karena dikejutkan oleh pemandu rombongan kami yang mengatakan kepada kami untuk turun dari bus karena kami sudah sampai ditujuan.
Setelah turun sambil berjalan mengikuti arah rombongan, Penulis terbayang lagi dengan kesan selama diperjalan sebelumnya, beberapa kali berhenti ketika masuk ke toilet, tampak kebersihannya kayak di Hotel bintang 3 saja.  Saat itu Penulis berkhayal lagi ingin rasanya pindah saja ke negeri yang bersih itu, meninggalkan negeri yang dihuni oleh orang-orang kumuh dimana Penulis telah dibesarkan.
Memang ada pula orang yang berpendapat bahwa di Malaysia dan di Singapura negerinya bisa bersih dan gampang diatur itu adalah karena daerahnya tidak terlalu luas.  Tidak seperti Indonesia yang punya daerah jauh lebih luas sehingga menjadi tidak gampang mengaturnya.  Apa iiiyaaa, lalu apakah kita harus mengecilkan dulu negara kita ini agar bisa diatur, baru bisa bersih ?. 
Menariknya lagi, selama satu minggu Penulis berada di negeri Malaysia dan Singapura, berjalan kesana kemari dengan bus, selama itu pula Penulis tidak pernah melihat adanya kecelakaan lalu lintas.  Tidak seperti di negeri kita yang kecelakaan lalu lintasnya hampir saja tiap hari, atau tiada hari tanpa kecelakaan lalu lintas.  Demikianlah, setelah beberapa hari diperjalanan, Penulis kembali ke Indonesia melalui pelabuhan Dumai.  Yaaaahch, kembali lagi kenegeri kumuh.  Apa hendak dikata.  Demikianlah, berdasarkan pengalaman selama dinegeri jiran, Penulis mencoba menulis, menyampaikan saran bagaimana, dan usaha apa yang bisa dilakukan supaya negeri ini bisa sedikit lebih bersih.  Tak usahlah bersih seperti di Malaysia apalagi Singapura -- rasanya sangatlah mustahil kalau bangsa yang kumuh ini mampu meniru tingkat kebersihan Singapura --.  Bersih seperti dipelabuhan Malaysia saja pun jadilah dulu.

Mohon maaf yee nceek, tuan-tuan dan puan-puan semua-mua.  Mungkin saye ni beda skitlah.