Senin, 02 Desember 2013

PABRIK SAMPAH


Pada suatu ketika dulu, pada pertengahan tahun 2001, Penulis pernah melakukan perjalanan ke negara jiran, Malaysia.  Untuk sampai di Malaysia, Penulis berangkat dari pelabuhan Dumai naik ferry menuju Malaka.
Awalnya sebelum berangkat, Penulis belumlah punya sedikitpun bayangan gambaran tentang keadaan lingkungan dari negara tersebut.  Penulis hanya punya bayangan bahwa bahasa dan cindera mata dinegeri mereka yang berbeda dari bahasa dan cindera mata di negeri kita.  Namun, betapa kagumnya Penulis karena baru sampai dipelabuhan Malaka saja, Penulis sudah dapat merasakan suasana yang sangat bebeda dari suasana pelabuhan Dumai.
Sebelumnya, ketika masih berada di Dumai, Penulis rasanya seperti sedang berada dalam satu lingkungan timbunan sampah; tetapi ketika baru saja sampai dipelabuhan di Malaka, rasanya Penulis baru saja keluar dari timbunan sampah dan masuk kedalam negeri yang bersih dan tertata lebih rapi.
Dipelabuhan itu, sepertinya sudah rutin, rombongan kami yang terdiri dari sekitar 40 orang disuruh berbaris antri oleh petugas untuk pemeriksaan passport.  Tetapi antrian kami itu ternyata bisa bertahannya cuma beberapa menit saja, setelah itu tanpa memperdulikan kehadiran petugas imigrasi, semua orang dari rombongan kami yang tidak sabar menunggu giliran langsung saja main serobot.  Yaaa biasalah mereka lakukan seperti di negeri kita.  Melihat keadaan ini, petugas imigrasi Malaysia tersebut dengan kesalnya segera berteriak “oii nceeek oiii antriiii nceeeeek” , demikian petugas itu mengingatkan.
Mendengar teriakkan petugas ini, semua orang dalam rombongan kami, dengan muka masamnya kembali berbaris dengan pengaturan sang petugas.  Namun baru beberapa saat saja, barisan antri kami sudah amburadul lagi.  Melihat keadaan ini, sang petugas yang semakin kesal kembali berteriak “ nceeek oiii antriiii antriii nceeeek, sedangkan heiwan boleh nak antri nceeeek” demikian sang petugas imigrasi kembali memaksa antrian kami.  Ketika itu dalam hati Penulis berkata, ya beginilah sungguh sangat menyakitkan dan memalukan mentalnya bangsa kita ini, sampai-sampai dikatakan sama dengan hewan oleh petugas imigrasi Malaysia.  Padahal orang-orang yang berada di rombongan kami itu kelihatannya adalah orang-orang baik semua, tidak kelihatan muka-muka premannya, tetapi didalam hati mereka ternyata belum ada istilah antri.
Begitulah setelah melewati suasana amburadulnya rombongan kami ketika pemeriksaan passport, rombongan kami diarahkan oleh Pemandu wisata untuk menaiki bus pariwisata yang telah disiapkan menunggu kami.  Tetapi kembali seperti tadi, semua orang dari rombongan kami kembali berebutan memaksa untuk naik bus layaknya orang-orang yang sedang berebutan naik bus kota saja.  Melihat keadaan ini, pemandu kami hanya senyum-senyum pahit saja.  Barangkali dia memang sudah terbiasa melihat manusia-manusia serobotan seperti kami yang datang dari Indonesia
Ketika bus sudah mulai berjalan, dari atas bus Penulis mencoba melayangkan pandangan keluar.  Suasana sekitarnya terlihat sangat berbeda dari suasana di Dumai, bahkan di Ibu Kota sekalipun, negeri yang penuh sampah bertaburan.  Di sepanjang perjalanan menuju penginapan, bahkan ketika melewati pasar, Penulis tetap saja melihat suasana yang bersih rapi dan teratur.  Padahal tidak tampak adanya polisi, tukang parkir yang mengatur.  Petugas kebersihan juga tidak banyak kelihatan.  Disebelah kiri dan kanan jalan tampak dibuatkan pula parit yang sangat pantas untuk menghindari terjadinya longsor dan banjir.  Sebagai seorang pelaku tekhnis, melihat bagaimana parit itu dibuat, Penulis langsung dapat memahami bahwa sistem pembuatan parit dinegara itu memang dirancang dan dikerjakan oleh orang-orang tekhnis.  Bukan seperti dinegara kita Indonesia dimana parit dan jembatan telah dirancang dan dikerjakan oleh orang-orang politik, maka wajar saja negeri ini menjadi langganan banjir.
Malam itu kami menginap di satu hotel dan malam itu kami berjalan-jalan keliling cuci mata sekedar melihat-lihat.  Ketika itu kami kembali tidak melihat adanya Polisi, Tukang parkir, Pengamen, Pengemis bahkan orang gila yang menganggu ketenangan pengunjung di warung-warung dan cafe juga tidak kelihatan.  Benar-benar sangat terasa bedanya dengan negeri kita yang semrawut.  Benar-benar terasa kenyamanan lingkungannya.  Benar-benar terasa kalau disana memang ada pemerintahan yang mengatur atau mungkin juga karena masyarakatnya sendirilah yang memang sudah bisa mengatur diri mereka sendiri, peduli pula dengan kebersihan dan kertiban.  Sehingga negeri mereka tidak perlu lagi terlalu banyak menghamburkan uang untuk membayar orang-orang atau petugas untuk melakukan perkerjaan pengaturan dan kebersihan itu.  Sehingga dana yang terkuras untuk itu, dapat dipergunakan untuk hal lain yang lebih bermanfaat.
Esok harinya, setelah sarapan rombongan kami mulai kembali melakukan perjalanan.  Disepanjang perjalanan, lagi-lagi Penulis melihat suasana yang rapi dan teratur.  Sehingga sampai ketempat tujuan wisatapun pun Penulis tidak melihat adanya puntung rokok, kertas-kertas yang berserakkan, botol-botol minuman yang bertaburan apalagi onggokan sampah memang sulit dicari disana.  Dan hebatnya lagi, disana Penulis tidak melihat adanya tulisan “JAGALAH KEBERSIHAN” , “BERSIH ITU SEHAT” , “BUANGLAH SAMPAH PADA TEMPATNYA” dlsb.  Mungkin karena Penulis memang terlahir sebbagai salah satu dari sejumlah orang yang senang dengan keteraturan, kerapian dan kebersihan; maka suasana bersih, rapi dan teratur yang terlihat di negeri jiran tersebut betul-betul saaangat menarik perhatian Penulis.
Beberapa hari kemudian, rombongan kami sampai di negeri Singapura.  Ternyata di negeri Singapura, masalah kebersihan dan keteraturan malah lebih baik lagi dari di Malaysia.  Sungguh sangat nyaman rasanya.  Kalau melihat kebersihan itu, ingin rasanya hati berlama-lama disana.  Didalam hati Penulis kembali berkata, sepertinya orang-orang di Malaysia dan di Singapura itu jarang sekali menghasilkan sampah.  Entah cara apa yang mereka lakukan, ingin rasanya hati bertanya kepada penduduk negeri itu.  Padahal mereka itu serumpun bangsa dengan bangsa Indonesia yang dikatakan Melayunesia.  Kenapa dalam hal kebersihan kok jauh sekali bedanya.  Ketika itu Penulis kembali teringat dengan sebuah tayangan yang ditayangkan oleh TVRI sekitar tahun 1982 tentang pabrik sampah disebuah kota di Negeri Jepang.
Pada tayangan itu dijelaskan bagaimana dari awalnya sampah dari berbagai pabrik dimasukkan kedalam sebuah peti kemas panjang diatas sebuah trailer.  Dan juga ditayangkan pula bagaimana para pekerja sampah mengangkat sampah dari tong sampah dijalanan dengan mesin hydrolic dan ada pula yang menyedod sampah dengan mesin penyedod seperti di Mekah, Saudi Arabia.  Setelah itu, semua pengangkut sampah ini bergerak menuju satu pabrik yang khusus didirikan pada satu tempat yang tidak jauh dari pusat kota.
Sesampainya di pabrik sampah, semua kedaraan pengangkut sampah segera membongkar muatan yang dikerjakan dengan mesin pembongkar.  Sampah yang dibongkar ini pertama sekali diterima oleh satu mesin mirip keranjang besi besar berputar yang besar diameternya sekitar 4 meter dan panjangnya sekitar 10 meter.  Kedalam keranjang besi besar yang berputar ini ditiupkan pula udara panas untuk mengurangi kelembaban.  Dari saringan keranjang besi besar yang terus berputar ini keluarlah batu, kerikil dan pasir serta benda-benda lainya yang bisa melewati lobang keranjang sebesar sekitar 15 cm dan ditampung oleh satu conveyor menuju satu tempat untuk dicurahkan.  Diujung tempat pencurahan ini, dibahagian sebelah atas sekali telah menunggu magnet listrik yang berputar siap setiap saat untuk menangkap semua logam yang bisa ditarik dengan magnet.  Sedikit dibawahnya disiapkan pula tiupan angin untuk memisahkan/  menerbangkan benda-benda yang lebih ringan dari pasir dan kerikil kelain tempat sehingga yang tersisa jatuh hanyalah semua bahan yang lebih berat itupun ditampung lagi dengan satu ban berjalan ketempat pemisah batu, kerikil dan pasir.  Disamping sepanjang ban berjalan ini telah siap pula beberapa orang pekerja untuk mengutip bahan yang tidak bisa ditarik oleh magnet listrik seperti; almunium, tembaga, kuningan dan benda lainnya.  Tinggallah pasir, kerikil dan batu yang tercurah di ujung ban berjalan itu dan diujung ban berjalan itu telah pula menunggu semprotan air untuk mencucinya. Seterusnya dibawa ketempat pengeringan dan penyaringan untuk dipisahkan antara pasir, kerikil dan batu.
Sementara itu, semua benda logam yang bisa ditarik oleh magnet listrik, dibawa kesatu tungku pembakaran pada suhu tertentu yang akan menghasil ratusan kilo timah dan berton-ton besi setiap harinya.  Kemudian semua benda ringan seperti kertas kayu kecil yang telah terpisah dikumpulkan dan dibawa pula ketungku, dibakar dimana apinya dimanfaatkan untuk menghidupkan pembangkit tenaga listrik mirip PLTU.  Tenaga listrik yang dihasilkan dengan bahan bakar sampah itu sepenuhnya dipergunakan untuk keperluan pabrik itu sendiri
Kembali kepengolahan awal.  Setelah semua benda-benda yang berukuran kurang dari 15 cm lolos dari keranjang saringan, tinggallah sisanya seperti besi panjang, kayu-kayu besar dan semua benda-benda besar lainnya yang tidak lolos di keranjang saringan itu.
Sejenak perputaran keranjang dihentikan.  Semua benda-benda besar dan panjang yang tidak lolos tadi di keluarkan oleh pekerja dan dibawa ketempat terpisah untuk dipisah-pisahkan atau pengolahan lanjuttannya.  Terutama benda-benda yang patut atau bisa dibakar,  akan dibawa pula menuju tungku pembakaran yang tujuan utamanya adalah selain melebur kaleng-keleng dan besi, juga untuk membangkitkan tenaga listrik tadi.  Cara yang dipergunakan dalam pembakaran inipun adalah sistem ramah lingkungan.  Karena asap pembakaran dipompakan melalui satu bak air sehingga pencemaran udara bisa ditekan serendah mungkin dan tidak banyak menggangu walaupun pabrik sampah ini terletak tidak jauh dari pusat kota.
Dengan cara pengolahan sampah seperti yang dijelaskan ini, ada beberapa keuntungan yang bisa didapatkan sekaligus:.
1.    Sampah praktis menjadi sangat diperlukan untuk kelangsungan hidupnya pabrik sampah tersebut
2.    Karena sampah menjadi bahan baku pabrik, maka sampah yang berserakkan dimana-mana menjadi sangat berkurang.
3.    Sejumlah tenaga ahli seperti; ahli kimia, ahli limbah, ahli listrik, ahli mekanik, ahli mesin, ahli komputer, ahli administrasi dlsb akan diserap oleh pabrik ini.  Disamping puluhan pekerja kasar yang juga dapat diserap.
4.    Ratusan kubik pasir, kerikil, batu, ber-ton-ton besi, tembaga, timah, almunium, plastik dan juga kompos dihasilkan setiap harinya.
5.    Semua hasil akhir ini dapat dijual untuk menghasilkan uang yang dapat membiayai kebutuhan pabrik sampah itu sekaligus menggaji para pegawainya.  Tidak perlu lagi dana dari APBDN.
6.    Yang diperlukan hanyalah modal awal untuk mendirikan pabrik sampah tersebut.  Sedangkan biaya pengolahan setiap harinya sudah bisa langsung ditutupi bahkan lebih dari hasil sampingan yang dapat dijual.

Kesimpullannya; Pabrik sampah ini dapat berjalan dengan sendirinya tanpa harus banyak menghabiskan dana disamping dapat menunjang kebersihan dan menyerap sejumlah tenaga kerja.  Dalam hati ketika itu Penulis berharap kelak pemerintah kita Indonesia mudah-mudahan tergerak pula hatinya untuk mendirikan pabrik sampah seperti yang ada di Jepang tersebut.  Penulis juga membayangkan andai kata untuk satu pabrik sampah saja diperlukan 60 orang pekerja dan kalau rata-rata setiap kota punya satu atau mungkin lebih pabrik sampah seperti di Jakarta misalnya mungkin perlu 5 pabrik sampah ini.  Kemudian dikali dengan jumlah kota-kota di Indonesia ini, katakanlah sampai 200 kota, maka 200 kali 60 orang, maka 12.000 orang tenaga kerja akan diserap oleh pabrik sampah ini.  Kapan ya bisa terlaksana???.  Demikianlah khyalan Penulis ketika itu ternyata harus berhenti karena dikejutkan oleh pemandu rombongan kami yang mengatakan kepada kami untuk turun dari bus karena kami sudah sampai ditujuan.
Setelah turun sambil berjalan mengikuti arah rombongan, Penulis terbayang lagi dengan kesan selama diperjalan sebelumnya, beberapa kali berhenti ketika masuk ke toilet, tampak kebersihannya kayak di Hotel bintang 3 saja.  Saat itu Penulis berkhayal lagi ingin rasanya pindah saja ke negeri yang bersih itu, meninggalkan negeri yang dihuni oleh orang-orang kumuh dimana Penulis telah dibesarkan.
Memang ada pula orang yang berpendapat bahwa di Malaysia dan di Singapura negerinya bisa bersih dan gampang diatur itu adalah karena daerahnya tidak terlalu luas.  Tidak seperti Indonesia yang punya daerah jauh lebih luas sehingga menjadi tidak gampang mengaturnya.  Apa iiiyaaa, lalu apakah kita harus mengecilkan dulu negara kita ini agar bisa diatur, baru bisa bersih ?. 
Menariknya lagi, selama satu minggu Penulis berada di negeri Malaysia dan Singapura, berjalan kesana kemari dengan bus, selama itu pula Penulis tidak pernah melihat adanya kecelakaan lalu lintas.  Tidak seperti di negeri kita yang kecelakaan lalu lintasnya hampir saja tiap hari, atau tiada hari tanpa kecelakaan lalu lintas.  Demikianlah, setelah beberapa hari diperjalanan, Penulis kembali ke Indonesia melalui pelabuhan Dumai.  Yaaaahch, kembali lagi kenegeri kumuh.  Apa hendak dikata.  Demikianlah, berdasarkan pengalaman selama dinegeri jiran, Penulis mencoba menulis, menyampaikan saran bagaimana, dan usaha apa yang bisa dilakukan supaya negeri ini bisa sedikit lebih bersih.  Tak usahlah bersih seperti di Malaysia apalagi Singapura -- rasanya sangatlah mustahil kalau bangsa yang kumuh ini mampu meniru tingkat kebersihan Singapura --.  Bersih seperti dipelabuhan Malaysia saja pun jadilah dulu.

Mohon maaf yee nceek, tuan-tuan dan puan-puan semua-mua.  Mungkin saye ni beda skitlah.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar